MAKALAH FERMENTASI
‘’FERMENTASI
KULIT SINGKONG (Manihot utilissima Pohl) MENGGUNAKAN Aspergillus
niger PENGARUHNYA TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING (KBK) DAN KECERNAAN BAHAN
ORGANIK (KBO) SECARA IN-VITRO’’
OLEH :
KELOMPOK
PUTRI SULHAM
WIJAYA D1C1 13 071
SARLINA D1C1 13 070
MULIANA D1C1 13
067
VICKY SAFRIANI D1C1 13 068
TPG B 2013
JURUSAN ILMU
DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS
TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘’FERMENTASI KULIT SINGKONG (Manihot
utilissima Pohl) MENGGUNAKAN Aspergillus niger PENGARUHNYA TERHADAP
KECERNAAN BAHAN KERING (KBK) DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK (KBO) SECARA IN-VITRO’’ dengan tepat. Kami haturkan ribuan terima kasih juga atas setiap komponen
yang mendukung terselesaikannya makalah ini dan kami juga menghaturkan ribuan
maaf atas setiap kesalahan dalam makalah ini, sebagai kontribusi untuk kami,
sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun guna pembetulan kesalahan.
Demikian, makalah ini semoga bermanfaat bagi kita semua.
Kendari,
November 2015
Penulis
Sampul
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
Bab
I Pendahuluan
1.1.Rumusan Masalah
1.2.Tujuan dan Manfaat
BAB
II Pembahasan
2.1.
Sejarah dan Manfaat Fermentasi
2..1.1. Sejarah
Fermentasi
2.2.2.
Manfaat Fermentasi
2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi
2.2.1.Mikroba
2.2.2.. Lama Fermentasi
2.2.2.. Lama Fermentasi
2.2.3. pH (keasaman)
2.2.4. Suhu
2.2.5. Oksigen
2.3. metode
penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk analisis
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro
2.4. Hasil
penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger yang diukur dengan
Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan
Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan
analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial
2.4.1. Kecernaan Bahan Kering (KBK)
2.4.2. Kecernaan
Bahan Organik (KBO)
BAB
III Penutup
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fermentasi dalam pemrosesan
bahan pangan adalah pengubahan karbohidrat
menjadi alkohol
dan karbon dioksida atau asam amino organik
menggunakan ragi,
bakteri,
fungi
atau kombinasi dari ketiganya di bawah kondisi anaerobik. Perilaku
mikroorganisme terhadap makanan dapat menghasilkan dampak positif maupun
negatif, dan fermentasi makanan biasanya mengacu pada dampak positifnya. Sains
yang mempelajari fermentasi disebut dengan zimologi.
Fermentasi sering juga di sebut proses produksi energi dalam sel
dalam keadaan anaerobik
(tanpa oksigen).
Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan
tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi
sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan
respirasi anaerob yang merupakan oksigen sebagai penerima elektron akhir pada
saat pembentukan ATP.
Salah
satu contoh fermentasi yaitu singkong atau ubi kayu (Manihot utilissima Pohl)
yang merupakan salah satu sumber karbohidrat lokal Indonesia yang
menduduki urutan ketiga terbesar setelah padi dan jagung. Tanaman
tersebut merupakan bahan baku yang paling potensial untuk diolah menjadi tepung.
Singkong segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri atas kadar air sekitar
60%, pati 35%, serat kasar 2,5%, kadar protein 1%, kadar lemak 0,5% dan
kadar abu 1%, dan merupakan sumber karbohidrat dan serat pakan, namun
sedikit kandungan proteinnya. Singkong segar mengandung senyawa
glikosida sianogenik dan bila terjadi proses oksidasi oleh enzim linamarase
maka akan dihasilkan glukosa dan asam sianida (HCN) yang ditandai dengan
bercak warna biru, akan menjadi toksik (racun) bila dikonsumsi pada
kadar HCN lebih dari 50 ppm (Prabawati, 2011).
Produktivitas singkong di Indonesia
sebesar 22.677.866 ton. Sedangkan untuk di wilayah Jawa Tengah, produksi singkong
sebesar 3.336.490 ton dengan luas panen 162.491 ha (Badan Pusat Statistik,
2012). Setiap bobot singkong akan dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 16%
dari bobot tersebut (Hidayat, 2009), hal tersebut menunjukkan bahwa produksi
kulit singkong di wilayah Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 533.838,4 ton,
sehingga dari hasil tersebut dapat diperoleh pula produksi kulit singkong di
Jawa Tengah per hektar sebanyak 128,33 ton/ha. Singkong dipanen pada umur 6–8
bulan untuk varietas Genjah dan 9–12 bulan untuk varietas Dalam (Prihatman,
2000). Kulit singkong merupakan limbah kupasan hasil pengolahan gaplek,tapioka,
tape, dan panganan berbahan dasar singkong lainnya. Potensi kulit singkong di
Indonesia sangat melimpah, seiring dengan eksistensi negara ini sebagai salah
satu penghasil singkong terbesar di dunia dan terus mengalami peningkatan
produksi setiap tahunnya. Wikanastri (2012) menyatakan bahwa kandungan energi
(TDN) dan nutrien dalam limbah kulit singkong yaitu bahan kering 17,45%,
protein 8,11%, TDN 74,73%, serat kasar 15,20%, lemak kasar 1,29%, kalsium
0,63%, dan fosfor 022%. Jumlah limbah kulit singkong yang cukup besar ini
berpotensi untuk diolah
menjadi pakan ternak.
Hanya saja perlu pengolahan yang tepat agar racun sianida yang terkandung dalam
kulit singkong tidak meracuni ternak yang mengkonsumsinya.
Salah satu proses pengolahan yang
dapat menurunkan kandungan sianida dalam kulit singkong adalah proses
fermentasi menggunakan enzim dan asam
yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus niger. Baker (2006) menyatakan bahwa jamur
Aspergillus niger dikenal karena perannya sebagai produsen asam sitrat.
Asam sitrat yang diproduksi jamur Aspergillus niger berfungsi untuk
fermentasi. Organisme ini hidup pada sebuah saprobe tanah dengan beragam enzim
hidrolitik dan oksidatif yang terlibat dalam pemecahan lignoselulosa tanaman.
Salah satu penelitian menggunakan jamur Aspergillus niger pada
fermentasi kulit buah kakao, antara kulit buah kakao yang difermentasi
menggunakan jamur Aspergillus niger dengan yang tidak difermentasi
berpengaruh sangat nyata terhadap Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan
Bahan Organik (KBO) (Fajri, 2008). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
potensi kulit singkong yang difermentasi Aspergillus niger perlu
dilakukan untuk meningkatkan kualitasnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat di rumuskan
masalah sebagai berikut
- Bagaimana Sejarah dan Manfaat Fermentasi?
- Apa faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi ?
- Bagaimana metode penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro ?
- Bagaimana hasil penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger yang diukur dengan Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial ?
1.3. Tujuan dan
Manfaat
Tujuan dan Manfaat dalam makalah ini sebagai
berikut:
- Menjelaskan Sejarah dan Manfaat Fermentasi
- Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi
- Menjelaskan metode penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro.
- Menjelaskan hasil penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger yang diukur dengan Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah dan Manfaat Fermentasi
2..1.1. Sejarah Fermentasi
- 6000 SM, khamir telah digunakan untuk pembuatan minuman beralkohol.
- 4000 SM, di Mesir khamir digunakan sebagai pengembang roti.
- Abad ke 14 ditemukan metode destilasi alkohol.
- Di Timur Tengah dan China bakteri asam laktat telah digunakan untuk pengawetan susu.
- Bakteri asam asetat ditemukan sebelum penemuan Anthony Van Leuwenhoek.
- Colombus di Amerika mengembangkan fermentasi jagung.
- 1800-an, Carlsberg mengembangkan starter untuk inokulum bir.
- 1803, Thenard menemukan khamir penghasil alkohol
- 1857, Edward Buchner menemukan mikrobia penghasil alkohol.
- 1901, Rudolf Emmerich & Oscarlow menemukan antibiotik dihasilkan oleh Pseudomonas geruginosa
- 1918, Chaim Wismann menemukan Clostridium penghasil aseton.
- 1923, Pfizer menemukan Aspergillus niger penghasil asam sitrat.
- 1928, A. Fleming menemukan Penisilin oleh P. notatum untuk mengham bat pertumbuhan Staphylococcus aureus
- Selman Waksman menemukan Streptomyces griseus, mikrobia penghasil streptomisin.
- 1957, Louis Pasteur menemukan khamir penghasil alkohol, fermentasi vitamin, antibiotik, asam amino dan steroid.
- Tahun 1900-1920 merupakan periode penting perkembangan fermentasi gliserol, aseton, butanol dan enzim.
- 1960 mulai dikembangkan produksi biomassa oleh mikrobia untuk sumber protein.
- Periode selanjutnya penelitian lebih ditujukan pada rekayasa genetik.
2.2.2. Manfaat Fermentasi
- Pengawetan makanan
- Penganekaragaman pangan
- Menghambatan pertumbuhan mikroorganisme patogen
- Meningkatkan nilai gizi makanan
Dalam makanan fermentasi nilai
gizi dapat meningkat karena:
- Mikroorganisme juga menghasilkan vitamin dan faktor-faktor tumbuh
- Daya cerna makanan meningkat
- Penguraian selulosa dan hemiselulosa dll yang tidak dapat dicerna oleh manusia menjadi gula-gula sederhana
Bahan Baku Fermentasi
- Bahan baku utama (sumber energi/karbon) fasa gas, cair atau padat mengandung gula dasar, pati atau lignoselulosa terdefinisi, ramuan kompleks atau limbah
- Nutrisi sumber nitrogen dan mineral, vitamin faktor pertumbuhan
- Air dan udara
- Bahan lain inhibitor stabilisator antibusa pengatur pH
Mikroorganisme penyebab
fermentasi:
- Mikroorganisme proteolitik (pengurai protein) Protein à nitrogen dan senyawa2 berbau busuk
- Mikroorganisme lipolitik (pengurai lipid) Lipid à senyawa2 berbau tengik atau bau amis
- Fermentasi (pengurai karbohidrat/glukosa) karbohidrat à alkohol, asam organik, dan co
2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi
Fermentasi dapat
terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada
substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan
perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan
bahan pangan (Winarno etal.,1980).
Pada umumnya cara-cara
pengawetan pangan ditujukan untuk menghambat atau membunuh mikroba. Sebaliknya
fermentasi adalah suatu cara pengawetan yang mempergunakan mikroba tertentu
untuk menghasilkan asam atau komponen lainnya yang dapat menghambat mikroba
perusak lainnya.
Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi anaerob atau partial anaerobic dari karbohidrat dan menghasilkan alkohol serta beberapa asam. Namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat protein dan lemak (Muchtadi, 1989).
Hasil dari fermentasi terutama tergantung pada berbagai faktor, yaitu jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Mikroba yang bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunannya terutama menjadi alkohol, asam dan CO2.
Mikroba proteolitik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginikan sedangkan mikroba lipolitik akan memecah atau menghidrolisa lemak, fosfolipida dan turunannya dengan menghasilkan bau yang tengik (Winarno et al., 1980). Bila alkohol dan asam yang dihasilkan oleh mikroba fermentatif cukup tinggi maka pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dihambat. Prinsip fermentasi sebenarnya adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme dari mikroba pembentuk alkohol dan asam, dan menekan pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik. Faktor- faktor yang mempengaruhi fermentasi yaitu jumlah mikroba, lama fermentasi, pH (keasaman), substrat (medium), suhu, alkohol, oksigen, garam dan air.
Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi anaerob atau partial anaerobic dari karbohidrat dan menghasilkan alkohol serta beberapa asam. Namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat protein dan lemak (Muchtadi, 1989).
Hasil dari fermentasi terutama tergantung pada berbagai faktor, yaitu jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Mikroba yang bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunannya terutama menjadi alkohol, asam dan CO2.
Mikroba proteolitik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginikan sedangkan mikroba lipolitik akan memecah atau menghidrolisa lemak, fosfolipida dan turunannya dengan menghasilkan bau yang tengik (Winarno et al., 1980). Bila alkohol dan asam yang dihasilkan oleh mikroba fermentatif cukup tinggi maka pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dihambat. Prinsip fermentasi sebenarnya adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme dari mikroba pembentuk alkohol dan asam, dan menekan pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik. Faktor- faktor yang mempengaruhi fermentasi yaitu jumlah mikroba, lama fermentasi, pH (keasaman), substrat (medium), suhu, alkohol, oksigen, garam dan air.
2.2.1.Mikroba
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan kultur murni atau starter. Banyaknya mikroba (starter/inokulum) yang ditambahkan berkisar antara 3–10 % dari volume medium fermentasi. Penggunaan inokulum yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk selalu berubah-ubah. Inokulum adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial.
Kriteria untuk kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah :
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan kultur murni atau starter. Banyaknya mikroba (starter/inokulum) yang ditambahkan berkisar antara 3–10 % dari volume medium fermentasi. Penggunaan inokulum yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk selalu berubah-ubah. Inokulum adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial.
Kriteria untuk kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah :
(a) sehat dan berada dalam keadaan
aktif sehingga dapat mempersingkat fase adaptasi
(b) tersedia cukup sehingga dapat
menghasilkan inokulum dalam takaran yang optimum .
(c) berada dalam bentuk morfologi
yang sesuai
(d) bebas kontaminasi
(e) dapat
mempertahankan kemampuannya membentuk produk Rachman,1989).
2.2.2..
Lama Fermentasi
Menurut
Buckle et al., (1985) bila suatu sel mikroorganisme diinokulasikan pada media
nutrien agar, pertumbuhan yang terlihat mula mula adalah suatu pembesaran
ukuran, volume dan berat sel. Ketika ukurannya telah mencapai kira-kira dua
kali dari besar sel normal, sel tersebut membelah dan menghasilkan dua sel.
Sel-sel tersebut kemudian tumbuh dan membelah diri menghasilkan empat sel.
Selama kondisi memungkinkan, pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung terus
sampai sejumlah besar populasi sel terbentuk.
Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies dan kondisi lingkungannya, tetapi untuk kebanyakan bakteri waktu ini berkisar antara 10 – 60 menit. Tipe pertumbuhan yang cepat ini disebut pertumbuhan logaritmis atau eksponensial karena bila log jumlah sel digambarkan terhadap waktu dalam grafik akan menunjukkan garis lurus. Tetapi pada kenyataannya tipe pertumbuhan eksponensial ini tidak langsung terjadi pada saat sel dipindahkan ke medium pertumbuhan dan tidak terjadi secara terus menerus (Rachman, 1989).
Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies dan kondisi lingkungannya, tetapi untuk kebanyakan bakteri waktu ini berkisar antara 10 – 60 menit. Tipe pertumbuhan yang cepat ini disebut pertumbuhan logaritmis atau eksponensial karena bila log jumlah sel digambarkan terhadap waktu dalam grafik akan menunjukkan garis lurus. Tetapi pada kenyataannya tipe pertumbuhan eksponensial ini tidak langsung terjadi pada saat sel dipindahkan ke medium pertumbuhan dan tidak terjadi secara terus menerus (Rachman, 1989).
2.2.3.
pH (keasaman)
Makanan
yang mengandung asam biasanya tahan lama, tetapi jika oksigen cukup jumlahnya
dan kapang dapat tumbuh serta fermentasi berlangsung terus, maka daya awet dari
asam tersebut akan hilang. Pada keadaan ini mikroba proteolitik dan lipolitik
dapat berkembang biak.
Sebagai contoh misalnya susu segar pada umumnya akan ditumbuhi dengan beberapa macam mikroba, mula-mula adalah Streptococcus lactis akan menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri.
Selanjutnya bakteri menjadi inaktif sehingga akan tumbuh bakteri jenis Lactobacillus yang Iebih toleran terhadap asam. Lactobacillus juga akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk "curd" susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis,sehingga keduanya akan menurunkan asam sampai titik di mana bakteri pembusuk proteolitik dan lipolitik akan mencerna "curd" dan menghasilkan gas serta bau busuk.
Sebagai contoh misalnya susu segar pada umumnya akan ditumbuhi dengan beberapa macam mikroba, mula-mula adalah Streptococcus lactis akan menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri.
Selanjutnya bakteri menjadi inaktif sehingga akan tumbuh bakteri jenis Lactobacillus yang Iebih toleran terhadap asam. Lactobacillus juga akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk "curd" susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis,sehingga keduanya akan menurunkan asam sampai titik di mana bakteri pembusuk proteolitik dan lipolitik akan mencerna "curd" dan menghasilkan gas serta bau busuk.
.2.2.4.
Suhu
Tiap-tiap
mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimal, minimal dan optimal yaitu
suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri tercepat.
Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan suhu
pertumbuhan yang diperlukannya yaitu golongan psikrofil, tumbuh pada suhu
dingin dengan suhu optimal 10 – 20°C, golongan mesofil tumbuh pada suhu sedang
dengan suhu optimal 20 – 45°C dan golongan termofil tumbuh pada suhu tinggi
dengan suhu optimal 50 – 60°C (Gaman and Sherrington, 1992). Suhu fermentasi
sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama fermentasi. Bakteri
bervariasi dalam hal suhu optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan asam.
Kebanyakan bakteri dalam kultur laktat mempunyai suhu optimum 30°C, tetapi
beberapa kultur dapat membentuk asam dengan kecepatan yang sama pada suhu 37°C
maupun 30°C. Suhu yang lebih tinggi dari 40°C pada umumnya menurunkan kecepatan
pertumbuhan dan pembentukan asam oleh bakteri asam laktat, kecuali kultur yang
digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu L.bulgaricus dan S.thermophilus
memiliki suhu optimum 40 - 45°C (Rahman et al., 1992).
Inkubasi dengan suhu 43°C selama 4 jam terjadi peningkatan produksi berbagai enzim dari L.bulgaricus dan S.thermophilus antara lain enzim laktase dan 8 orthonitrophenol ß-d-galaktopyranosid.
Inkubasi dengan suhu 43°C selama 4 jam terjadi peningkatan produksi berbagai enzim dari L.bulgaricus dan S.thermophilus antara lain enzim laktase dan 8 orthonitrophenol ß-d-galaktopyranosid.
2.2.5.
Oksigen
Tersedianya
oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Jamur bersifat aerobik
(memerlukan oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat aerobik atau anaerobik
tergantung pada kondisinya.
Bakteri diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu aerob obligat (tumbuh jika persediaan oksigen banyak), aerob fakultatif (tumbuh jika oksigen cukup, juga dapat tumbuh secara anaerob), anaerob obligat (tumbuh jika tidak ada oksigen) dan anaerob fakultatif (tumbuh jika tidak ada oksigen juga dapat tumbuh secara aerob) (Gaman and Sherrington, 1992).
Bakteri diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu aerob obligat (tumbuh jika persediaan oksigen banyak), aerob fakultatif (tumbuh jika oksigen cukup, juga dapat tumbuh secara anaerob), anaerob obligat (tumbuh jika tidak ada oksigen) dan anaerob fakultatif (tumbuh jika tidak ada oksigen juga dapat tumbuh secara aerob) (Gaman and Sherrington, 1992).
2.3. metode penelitian kulit singkong (Manihot
utilissima Pohl) untuk analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik secara in vitro
Materi yang akan digunakan dalam penelitian adalah
kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang diambil dari sentra
pengolahan gethuk goreng di wilayah Sokaraja, Jawa Tengah, kultur jamur Aspergillus
niger yang diperoleh dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman,
cairan rumen sapi yang diambil dari Rumah Potong Hewan Mersi Purwokerto
segera setelah sapi dipotong, seperangkat alat dan bahan yang digunakan
untuk analisis Kecernaan Bahan Kering
dan Bahan Organik secara in vitro.
Metode penelitian dilakukan menggunakan metode
experimental in vitro berdasarkan metode Tilley and Terry (1963).
Perlakuan yang diteliti yaitu S :
Kulit Singkong tanpa fermentasi, S10 : Kulit Singkong difermentasi
dengan jamur Aspergillus niger 1 %, S : Kulit Singkong difermentasi dengan jamur Aspergillus niger 2 %, S32 : Kulit Singkong difermentasi dengan jamur
Aspergillus niger 3 %. Peubah yang diukur dalam penelitian ini yaitu Kecernaan
Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik
(KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji
orthogonal polynomial.
2.4. Hasil
penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus
niger yang diukur dengan Kecernaan Bahan
Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan
analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial
2.4.1. Kecernaan Bahan Kering (KBK)
Kecernaan
bahan kering kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus nigermempunyai
kisaran nilai antara 23,72% sampai 50,74%, dengan rataan tertera pada Tabel 1.
Hasil
dari tabel 1 memperlihatkan bahwa kulit singkong yang difermentasi menggunakan
Aspergillus niger memiliki rataan
kecernaan bahan kering yang tergolong rendah karena kurangdari 50%, namun
hasilnya tetap meningkat bila dibandingkan dengan yang tidak mendapat perlakuan
fermentasi, yaitu peningkatan sebesar 12,43% untuk bahan kering dari S . Hal
ini dapat diperoleh mengingat kulit singkong mengandung asam sianida. Sifat
racun pada biomass ketela pohon (termasuk kulitnya umbinya) terjadi akibat
terbebasnya HCN darglukosida sianogenik yang dikandungnya (Rustandi, 2012). HCN
adalah larutan tidak berwarna bersifat racun dan mudah menguap (Sandi, 2012).
Diperkirakan asam sianida yang terkandung dalam kulit singkong belum sepenuhnya
hilang meskipun sudah mendapat perlakuan fermentasi oleh Aspergillus niger sebesar
1%, 2% dan 3%.
Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa fermentasi kulit singkong menggunakan
Aspergillus niger berpengaruh sangat
nyata (P<0.01) terhadap kecernaan bahan kering. Kemudian
hasil uji lanjut orthogonal
polynomial menunjukkan bahwa perlakuan memberikan respon
kuadrater terhadap kecernaan
bahan kering dengan persamaan Y = 28.299 + 20.155x - 5.155x
dengan koefisien
determinasi (r2) 0.834 (gambar 1) yang berarti bahwa perlakuan memiliki pengaruh
sebesar 83,4% terhadap kecernaan bahan kering. Supriyati et al. (1998)
menyatakan bahwa fermentasi dengan menggunakan
kapang memungkinkan terjadinya perombakan komponen
bahan yang sulit dicerna menjadi lebih tersedia. Aspergillus niger dapat
menghasilkan enzim selulase yang berperan
mendegradasi selulosa yang membungkus pati pada kulit singkong, dimana kadar selulosa pada kulit singkong cukup tinggi
sekitar 5%. Kadar HCN menurun seiring dengan bertambahnya lama fermentasi
karena semakin bertambahnya waktu fermentasi maka semakin meningkat pula kemampuan enzim dalam mendegradasi
linamarin menjadi senyawa yang tidak
membahayakan.
Gambar 1 menunjukkan
bahwa hasil penggunaan Aspergillus niger pada kulit singkong di level 2%
lebih optimal meningkatkan kecernaan bahan kering dibandingkan dengan level 0%
(S),1% (S1), dan 3% (S) dengan titik belok berada di ordinat (1.955 ; 47.999).
Ini berarti titik optimal fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus
niger berada pada hasil yang optimal di level 2% (S23) dengan nilai
kecernaan bahan keringnya sebesar 47,99%. Kecernaan bahan kering paling rendah
berada di level 0% yang memiliki kecernaan bahan kering sebesar 28,94%. Dalam aktivitasnya
kapang menggunakan karbohidrat sebagai sumber karbon. Pemecahan karbohidrat akan
diikuti pembebasan energi, karbondioksida dan air. Panas yang dibebaskan
menyebabkan suhu substrat meningkat. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa
untuk hidup semua organisme membutuhkan sumber energi yang diperoleh dari
metabolisme bahan pangan tempat organisme
berada di dalamnya.
Dalam hal ini, yang berperan sebagai sumber energi adalah karbohidrat yang terkandung
dalam kulit singkong dan sebagai sumber nitrogen berasal dari urea yang ditambahkan.
Andayani (2010) menambahkan bahwa urea yang ditambahkan pada proses fermentasi
akan diurai oleh enzim urease menjadi amonia dan karbon dioksida yang
selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino. Amoniasi dapat digunakan
sebagai salah satu cara untuk memperbaiki kandungan nitrogen, meningkatkan
kecernaan serat kasar sekaligus dapat meningkatkan konsumsi. Amoniasi dengan
menggunakan urea sebagai
sumber amonia
merupakansalah satu cara yang memberikan harapan baik untuk meningkatkan
nutrien pakan, dimana dapatmeningkatkan kandungan bahan kering dan nitrogen
akibat naiknya kecernaan dan konsumsibahan kering.
Faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan kering adalah aktivitasmikroba
dalam rumen, kualitas cairan rumen yang digunakan, persentase lignin dalam
bahanpakan, pengontrolan pH rumen, kondisi temperatur dalam shaker waterbatch,
kondisi fisik bahanpakan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan.
Gambar 1 menunjukkan bahwa
penggunaan 2% Aspergillus niger pada
kulit singkong (S) menghasilkan kecernaan bahan kering yang lebih
tinggi daripada penggunaan Aspergillus niger pada S0, S1 dan S yaitu
49,92±0,76%. Peningkatan kecernaan bahan kering dari level 0% dan level 1% adalah sebesar 12,43%. Sedangkan dari level 1% dan level 2% adalah sebesar 8,55%.
Level 2% dan
level 3% mengalami penurunan sebesar 8,19%.
Kemampuan bahan pakan dalam
menyediakan nutrien bagi mikroflora rumen dan hewan inang dapat dilihat
dari hasil kecernaan bahan kering bahan pakan tersebut. Semakin tinggi tingkat
kecernaan bahan kering maka dapat disimpulkan bahwa bahan pakan tersebut cukup
berkualitas untuk diberikan kepada ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan 2% Aspergillus niger pada
kulit singkong (S) menghasilkan kecernaan bahan kering yang lebih tinggi
daripada penggunaan Aspergillus niger pada S20, S1 dan S yaitu 49,92± 1,76%.
2.4.2. Kecernaan
Bahan Organik (KBO)
Kecernaan Bahan
Organik
Kecernaan bahan organik kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus
niger mempunyai kisaran nilai antara 33,16% sampai 49,16%, dengan rataan
tertera pada Tabel 2. Hasil dari
tabel 2 memperlihatkan bahwa kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus
niger memiliki rataan kecernaan bahan organik yang tergolong rendah karena
kurang dari 50%, namun hasilnya tetap meningkat bila dibandingkan dengan
yang tidak mendapat perlakuan fermentasi, yaitu peningkatan sebesar 6%
untuk bahan organik dari S. Sama halnya dengan kecernaan bahan kering,
diperkirakan asam sianida yang terkandung dalam kulit singkong belum sepenuhnya
hilang meskipun sudah mendapat perlakuan fermentasi oleh Aspergillus niger sebesar
1%, 2% dan 3%. Perbedaan nilai kecernaan bahan organik tersebut disebabkan oleh
karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering suatu bahan pakan.
Hasil analisis
variansi menunjukkan bahwa fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus
niger berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kecernaan bahan
organik. Hasil uji lanjut orthogonal polynomial menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan respon kuadrater
terhadap kecernaan
bahan organik dengan persamaan Y = 31.967 + 14.926x - 4.057x dengan
koefisien determinasi (r2) 0.613 (gambar 2) yang
berarti bahwa perlakuan memiliki pengaruh sebesar
61,3 % terhadap kecernaan bahan organik dengan titik belok berada di ordinat
(1.839 ; 45.695). Ini berarti titik optimal
fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus niger berada pada hasil yang optimal di level 2% (S) dengan nilai
kecernaan bahan organiknya sebesar 45,69%.
Faktor utama yang
dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kecernaan bahan kering.
Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil penggunaan Aspergillus
niger pada kulit singkong dilevel 2% lebih optimal meningkatkan kecernaan
bahan organik dibandingkan dengan level 0% (S),1% (S1), dan 3% (S). Kecernaan
bahan organik paling rendah berada di level 0% yang memiliki kecernaan bahan
organik sebesar 33,16%. Bahan organik merupakan bagian dari bahan keringsuatu
bahan pakan. Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya bahwa dengan semakin tingginya
Aspergillus niger maka akan semakin besar pula kandungan bahan kering
yang didegradasi sebagai sumber energi untuk Aspergillus niger dan
menyebabkan kandungan bahankering maupun organik mengalami penurunan. Turunnya
kandungan bahan organik kulit singkong yang difermentasi inilah yang mungkin
dapat menyebabkan turunnya kecernaan bahan organik. Ditambahkan pula oleh
Suwandyastuti (1991), bahan pakan yang mempunyai kandungan nutrienyang sama
memungkinkan kecernaan bahan organiknya mengikuti kecernaan bahan keringnya, tetapi
sering terjadi perbedaan.
Menurut Ginting (2005), proses
degradasi substrat penghasil energi dan proses sintesis protein oleh mikroba
sulit dipisahkan. Pertumbuhan mikroba didukung oleh fermentasi substrat, sedangkan
fermentasi substrat dilakukan oleh perkembangan mikroba. Penurunan dan
perubahan bahan organik selama fermentasi dipengaruhi oleh respirasi dan
kerusakan oleh mikroorganisme, karena bahan organik seperti protein,
karbohidrat,lemak maupun vitamin merupakan komponen utama sel (Buckle, 1987).
Selanjutnya (Francis 1982), mengemukakan
bahwa untuk pertumbuhan Selnya, mikroorganisme membutuhkan karbon, terutama
yang berasal dari bahan organik. Zain (1999), menjelaskan bahwa kecernaan pakan
pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba rumen.
Menurut Aryo (2010) dengan meningkatnya jumlah mikrobia rumen, maka dapat
meningkatkan aktifitas degradasi bahan organik pakan secara fermentatif menjadi
senyawa sederhana yang mudah larut, akibatnya dapat meningkatkan penyerapan
zat-zat organik. Peningkatan kecernaan bahan organik substrat akan mengikuti
peningkatan kecernaan bahan kering substrat (Mutahadin dan Liman, 2006). Hal
ini karena bahan organik merupakan komponen terbesar dari bahan kering substrat
(Munasik, 2007).
(S2 Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan 2% Aspergillus niger
pada kulit singkong ) menghasilkan kecernaan bahan organik yang lebih
tinggi daripada penggunaan Aspergillus niger pada S0, S1 dan S yaitu 49,16±0,75%. Peningkatan kecernaan
bahan organik dari level 0%(S0) dan level 1% (S13) adalah
sebesar 6,1%. Sedangkan dari level 1%
dan level 2% (S) adalah sebesar 9,9%.
Level 2% dan level 3% (S) mengalami
penurunan sebesar 10,12%.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
penggunaan optimal Aspergillus niger terhadap kecernaan bahan kering dan
bahan organik berada pada level 2% yaitu sebesar 47,99% untuk kecernaan bahan
kering dan 49,16% untuk kecernaan bahan organik.
DAFTAR PUSTAKA
Aryo, Galih Putro. 2010. Pengaruh Suplementasi Probiotik Cair EM4
Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan
Bahan Organik Ransum Domba Lokal Jantan.
Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Produktivitas Tananaman Ubi Kayu di
Seluruh Provinsi Tahun2012. Badan
Pusat Statistik.
Baker, S. E. 2006. Aspergillus
niger genomics: Past, present and into the future. Medical Mycology. 44: S17-S21.
Buckle, K.A., G.H. Edward, dan M.
Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia
Press.Jakarta.
Ginting, Simon Petrus. 2005. Sinkronisasi Degradasi Protein dan Energi
dalam Rumen untukMemaksimalkan
Produksi Protein Mikroba. WARTAZOA. 15 (1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar