Peri Kecil
Sabtu, 13 Februari 2016
Pengawasan Mutu Dan Sertifikasi Pangan HACCP
PENGAWASAN
MUTU DAN SERTIFIKASI PANGAN
Oleh:
PUTRI
SULHAM WIJAYA
D1C1 13 071
TPG B 2013
ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
HACCP
A. Pengertian
HACCP
Menurut WHO, Analisis Bahaya dan Pengendalian
Titik Kritis (Hazard Analysis and Critical Control Points / HACCP)
didefinisikan sebagai suatu pendekatan ilmiah, rasional, dan sistematik untuk
mengidentifikasi, menilai, dan mengendalikan bahaya.
Dillon and Griffith (1996) dalam
buku Hygiene dan Sanitasi Makanan (Siti Fathonah, 2005) mendefinisikan HACCP
sebagai sistem manajemen keamanan makanan, dengan strategi mencegah bahaya dan
resiko yang terjadi pada titik-titik kritis pada rantai produksi makanan.
Sedangkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) Indonesia mendefinisikan HACCP
sebagai suatu sistem untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan
bahaya yang nyata bagi keamanan pangan.
HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan kepada kesadaran
bahwa hazard (bahaya) dapat timbul
pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan
pengendaliannya untuk mengontrol bahaya bahaya tersebut. Kunci utama HACCP
adalah antisipasi dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan, daripada
mengandalkan kepada pengujian produk akhir.
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang tanpa
resiko, tetapi dirancang untuk meminimalkan resiko bahaya keamanan pangan.
Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk
memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi
bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik.
HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen
utama bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi,
pemasaran hingga sampai kepada pengguna akhir.
Hazard Analysis, adalah
analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya yang tidak dapat
diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai produksi pangan
yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah keamanan pangan.
Bahaya tersebut meliputi :
1. Keberadaan
yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau fisik pada bahan
mentah.
2. Pertumbuhan
atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasilperubahan kimiawi yang tidak dikehendaki (misalnya nitrosamin) pada
produk antara atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
3. Kontaminasi
atau kontaminasi ulang ( cross
contamination) pada produk antara atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
Critical
Control Point (CCP atau titik pengendalian kritis), adalah langkah dimana
pengendalian dapat diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau menghilangkan
bahaya atau menguranginya sampai titik aman (Bryan, 1995).
Titik pengendalian kritis (CCP) dapat berupa bahan mentah, lokasi,
praktek, prosedur atau pengolahan dimana pengendalian dapat diterapkan untuk
mencegah atau mengurangi bahaya. Ada dua titik pengendalian kritis:
a. Titik
Pengendalian Kritis 1 (CCP-1), adalah sebagai titik dimana bahaya dapat
dihilangkan
b. Titik
Pengendalian Kritis 2 (CCP-2), adalah sebagai titik dimana bahaya dikurangi.
Karena HACCP dikenal sebagai sistem keamanan pangan yang efektif, maka
dengan menerapkan HACCP secara konsekuen maka perusahaan jaminan pangan akan
dapat memberikan kepercayaan pada pelanggan terhadap jaminan keamanan yang
telah dilakukan, dan akan memberikan kesan yang baik bahwa industri pangan yang
bersangkutan memenuhi komitmen yang kuat dan profesional dalam menjamin
keamanan pangan. Bahkan suatu industri pangan penerap HACCP dapat
mendemonstrasikan bahwa sistem keamanan pangannya telah memenuhi persyaratan regulasi
pemerintah dalam menjamin masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya bahaya
keamanan pangan.
B. Sejarah Berkembangnya HACCP
Konsep HACCP pertama kali dikembangkan ketika perusahaan Pillsbury di
Amerika Serikat bersama-sama dengan US
Army Nautics
Research and
Development Laboratories, The National Aeronautics and Space Administration serta
US Air Force Space Laboratory Project
Group pada tahun 1959 diminta untuk mengembangkan makanan untuk dikonsumsi
astronot pada gravitasi nol. Untuk itu dikembangkan makanan berukuran kecil ( bite size ) yang dilapisi dengan pelapis
edible yang menghindarkannya dari
hancur dan kontaminasi udara. Misi terpenting dalam pembuatan produk tersebut
adalah menjamin keamanan produk agar para astronot tidak jatuh sakit. Dengan
demikian perlu dikembangkan pendekatan yang dapat memberi jaminan mendekati
100% aman.
Tim tersebut akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa, cara terbaik untuk
mendapatkan jaminan tertinggi adalah dengan sistem pencegahan dan penyimpanan
rekaman data yang baik. Konsep yang saat ini dikenal sebagai HACCP ini, jika
diterapkan dengan tepat dapat mengendalikan titik-titik atau daerah-daerah yang
mungkin menyebabkan bahaya. Masalah bahaya ini didekati dengan cara mengamati
satu per satu bahan baku proses dari sejak di lapangan sampai dengan
pengolahannya. Bahaya yang dipertimbangkan adalah bahaya patogen, logam berat,
toksin, bahaya fisik, dan kimia serta perlakuan yang mungkin dapat mengurangi
cemaran tersebut. Disamping itu, dilakukan pula analisis terhadap proses,
fasilitas dan pekerja yang terlibat pada produksi pangan tersebut.
Pada tahun 1971, untuk pertama kalinya sistem HACCP ini dipaparkan kepada
masyarakat di negara Amerika Serikat di dalam suatu Konferensi Nasional
Keamanan Pangan. Pada tahun berikutnya Pillsbury mendapat kontrak untuk
memberikan pelatihan HACCP kepada badan Food
and Drug Adminstration (FDA). Dokumen lengkap HACCP pertama kali
diterbitkan oleh Pillsbury pada tahun 1973 dan disambut baik oleh FDA dan
secara sukses diterapkan pada makanan kaleng berasam rendah.
Pada tahun 1985, The National
Academy of Scienses (NAS) merekomendasikan penerapan HACCP dalam
publikasinya yang berjudul An Evaluation
of The Role of Microbiological Criteria for Foods and Food Ingredients. Komite
yang dibentuk oleh NAS kemudian menyimpulkan bahwa sistem pencegahan seperti
HACCP ini lebih dapat memberikan jaminan kemanan pangan jika dibandingkan
dengan sistem pengawasan produk akhir.
Selain NAS, lembaga internasional seperti International Commission on Microbiological Spesification for Foods (ICMSF)
juga menerima konsep HACCP dan memperkenalkannya ke luar Amerika Serikat.
Ketika NAS membentuk The National
Advisory Commitee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF), maka
konsep HACCP makin dikembangkan dengan disusunnya 7 prinsip HACCP yang dikenal
sampai saat ini. Konsep HACCP kemudian diadopsi oleh berbagai badan
internasional seperti Codex Alimentarius
Commission (CAC) yang kemudian diadopsi oleh berbagai negara di dunia
termasuk Indonesia .
C. Perlunya Diterapkan HACCP bagi Industri Pangan
Konsep HACCP merupakan suatu metode manajemen keamanan pangan yang
bersifat sistematis dan didasarkan pada prinsip-prinsip yang sudah dikenal,
yang ditujukan untuk mengidentifikasi hazard (bahaya) yang kemungkinan dapat
terjadi pada setiap tahapan dalam rantai persediaan makanan, dan tindakan
pengendalian ditempatkan untuk mencegah munculnya hazard tersebut. HACCP
merupakan akronim yang digunakan untuk mewakili suatu sistem hazard dan titik
kendali kriti (Hazard Analysis and Critical Control Point).
HACCP merupakan suatu sistem manajemen keamanan makanan yang sudah
terbukti dan didasarkan pada tindakan pencegahan. Identifikasi letak suatu
hazard yang mungkin akan muncul di dalam proses, tindakan pengendalian yang dibutuhkan
akan dapat ditempatkan sebagaimana mestinya. Hal ini untuk memastikan bahwa
keamanan makanan memang dikelola dengan efektif dan untuk menurunkan
ketergantungan pada metode tradisional seperti inspeksi dan pengujian.
Beberapa industri pangan dunia menyimpulkan bahwa bisnis pangan perlu dan
harus menerapkan HACCP dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Yang
paling ditakuti pebisnis pangan adalah “food safety” karena hal itu tidak dapat
diatasi dengan “product recall” yang mahal.
2. Jaminan
keamanan pangan adalah salah satu persyaratan standar dan juga wajib oleh
Regulasi (UU pangan, UU perlindungan konsumen).
3. Untuk
menjadi kompetitif di pasar global.
4. Menekankan
pada mutu, “food safety”, dan eliminasi “economic fraud” (miss-labelling,
kesalahan berat, salah ukuran) untuk menjaga keamanan bisnis.
5. Membutuhkan
sistem keamanan pangan yang sejalan dengan program yang sejalan dengan jaminan
mutu.
6. WTO
telah mendesak negara anggota dan industri untuk melakukan harmonisasi
perdagangan, ekivalensi sistem inspeksi, dan mengurangi hambatan teknis, serta
merekomendasi CAC standar untuk memfasilitasi harmonisasi.
7. CAC
telah mengadopsi dan merekomendasi penerapan bagi industri pangan HACCP
keseluruh dunia.
8. Negara-negara
mitra bisnis Indonesia telah mengubah regulasi mereka untuk implentasi HACCP.
D. Prinsip-Prinsip HACCP
Di dalam penerapannya, Hazard Analysis and Critical Control Point
memiliki beberapa prinsip yang dilaksanakan. Sistem HACCP terdiri dari tujuh
prinsip, yaitu :
1. Melakukan analisis bahaya.
Segala
macam aspek pada mata rantai produksi pangan yang dapat menyebabkan masalah
keamanan pangan harus dianalisa. Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah
keberadaan pencemar (kontaminan) biologis, kimiawi, atau fisik bahan pangan.
Selain itu, bahaya lain mencakup pertumbuhan mikrroganisme atau perubahan
kimiawi yang tidak dikehendaki selama proses produksi, dan terjadinya
kontaminasi silang pada produk antara, produk jadi, atau lingkungan produksi.
2. Menentukan Titik Pengendalian Kritis
(Critical Control Point).
Suatu
titik, tahap, atau prosedur dimana bahaya yang
berhubungan dengan pangan dapat dicegah, dieliminasi, atau dikurangi hingga ke
titik yang dapat diterima (diperbolehkan atau titik aman). Terdapat dua titik
pengendalian kritis yaitu Titik Pengendalian
Kritis
1 sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan, dan Titik Pengendalian Kritis
2 dimana bahaya dapat dikurangi.
3. Menentukan batas kritis.
Kriteria yang
memisahkan sesuatu yang bisa diterima dengan yang tidak bisa diterima. Pada
setiap titik pengendalian kritis, harus dibuat batas kritis dan kemudian
dilakukan validasi. Kriteria yang umum digunakan dalam menentukan batas kritis
HACCP pangan adalah suhu, pH, waktu, tingkat kelembaban, Aw, ketersediaan klorin, dan parameter fisik seperti tampilan
visual dan tekstur.
4. Membuat suatu sistem pemantauan (monitoring) CCP.
Suatu
sistem pemantauan (observasi) urutan, operasi, dan pengukuran selama terjadi
aliran makanan. Hal ini termasuk sistem pelacakan operasi dan penentuan kontrol
mana yang mengalami perubahan ketika terjadi penyimpangan. Biasanya, pemantauan
harus menggunakan catatan tertulis.
5. Melakukan tindakan korektif apabila
pemantauan mengindikasikan adanya CCP yang tidak berada di bawah kontrol.
Tindakan korektif
spesifik yang diberlakukan pada setiap CCP dalam sistem HACCP untuk menangani
penyimpangan yang terjadi. Tindakan korektif tersebut harus mampu mengendalikan
membawa CCP kembali dibawah kendali dan hal ini termasuk pembuangan produk yang
mengalami penyimpangan secara tepat.
6. Menetapkan prosedur verifikasi untuk
mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif.
Prosedur
verifikasi yang dilakukan dapat mencakup peninjauan terhadap sistem HACCP dan
catatannya, peninjauan terhadap penyimpangan dan pengaturan produk, konfirmasi
CCP yang berada dalam pengendalian, serta melakukan pemeriksaan (audit) metode,
prosedur, dan uji. Setelah itu, prosedur verifikasi dilanjutkan dengan
pengambilan sampel secara acak dan menganalisanya. Prosedur verifikasi diakhiri
dengan validasi sistem untuk memastikan sistem sudah memenuhi semua persyaratan
Codex dan memperbaharui sistem apabila terdapat perubahan di tahap proses atau
bahan yang digunakan dalam proses produksi.
7. Melakukan dokumentasi terhadap seluruh
prosedur dan catatan yang berhubungan dengan prinsip dan aplikasinya.
Beberapa
contoh catatan dan dokumentasi dalam sistem HACCP adalah analisis bahaya,
penetapan CCP, penetapan batas kritis, aktivitas pemantauan CCP, serta
penyimpangan dan tindakan korektif yang berhubungan.
E. Pedoman Penerapan HACCP
HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer
sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan bukti
secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia. Selain meningkatkan keamanan
pangan, penerapan HACCP dapat memberikan keuntungan lain yang penting.
Selanjutnya, penerapan sistem HACCP dapat membantu inspeksi oleh lembaga yang
berwenang dan memajukan perdagangan internasional melalui peningkatan
kepercayaan keamanan pangan.
HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer
sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan buktI
secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia. Selain meningkatkan keamanan
pangan, penerapan HACCP dapat memberikan keuntungan lain yang penting.
Selanjutnya, penerapan sistem HACCP dapat membantu inspeksi oleh lembaga yang berwenang
dan memajukan perdagangan internasional melalu peningkatan kepercayaan keamanan
pangan.
Sebelum menerapkan HACCP untuk setiap sektor rantai pangan, sektor
tersebut harus telah menerapkan Prinsip Umum Higiene Pangan dari Codex, Pedoman
Praktis dari Codex yang sesuai, serta peraturan keamanan pangan terkait,
Tanggung jawab manajemen adalah penting untuk menerapkan sistem HACCP yang
efektif. Selama melaksanakan identifikasi bahaya, penilaian dan pelaksanaan
selanjutnya dalam merancang dan menerapkan sistem HACCP, harus dipertimbangkan
dampak dan bahan baku, bahan tambahan, cara pembuatan pangan yang baik, peran
proses pengolahan dalam mengendalikan bahaya, penggunaan yang mungkin dari
produk akhir, katagori konsumen yang berkepentingan dan bukti-bukti epidemis
yang berkaitan dengan keamanan pangan.
Maksud dari sistem HACCP adalah untuk memfokuskan pada Titik Kendali
Kritis (CCPs). Perancangan kembali operasi harus dipertimbangkan jika terdapat
bahaya yang harus dikendalikan, tetapi tidak ditemukan TKK (CCPs). HACCP harus
diterapkan terpisah untuk setiap operasi tertentu. TKK vang diidetitifikasi
pada setiap contoh yang diberikan dalam setiap Pedoman praktek Higiene dari
Codex mungkin bukan satu-satunya yang diidentifikasi untuk suatu penerapan yang
spesifik atau mungkin berbeda jenisnya. Penerapan HACCP harus ditinjau kembali
dan dibuat perubahan yang diperlukan jika dilakukan modifikasi dalam produk,
proses atau tahapannya.
Penerapan HACCP perlu dilaksanakan secara fleksibel, dimana perubahan
yang tepat disesuaikan dengan memperhitungkan sifat dan ukuran dari operasi.
Penerapan prinsip-prinsip HACCP terdiri dari tugas-tugas berikut
sebagaimana terlihat pada tahap-tahap penerapan HACCP:
1.
Pembentukan
tim HACCP
Operasi
pangan harus menjamin bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu
tersedia untuk pengembangan rencana HACCP yang efektif. Secara optimal, hal
tersebut dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin
ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak
luar. Adapun lingkup dari program HACCP harus diidentifikasi. Lingkup tersebut
harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang
terlibat dan penjenjangan secara umum bahayabahaya yang dimaksudkan (yaitu
meliputi semua jenjang bahaya atau hanya jenjang tertentu).
2.
Deskripsi
produk
Penjelasan lengkap dari produk harus
dibuat termasuk informasi mengenai komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk
Aw, pH, d1l.), perlakuan-perlakuan mikrosidal/statis (seperti perlakuan
pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengasapan, dll.), pengemasan, kondisi
penyimpanan dan daya tahan serta metoda pendistribusiannya.
3.
Identifikasi
rencana penggunaan
Rencana
penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang diharapkan dari produk
oleh pengguna produk atau konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompokkelompok
populasi yang rentan, seperti yang menerima pangan dari institusi, mungkin
perlu dipertimbangkan.
4.
Penyusunan
bagan alir
Bagan
alir harus disusun oleh tim HACCP. Dalam diagram alir harus memuat segala
tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan pada suatu operasi
tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi
tersebut.
5.
Konfirmasi
Bagan Alir di Lapangan
Tim HACCP,
sebagai penyusun bagan
alir harus
mengkonfirmasikan operasional produksi dengan semua tahapan dan jam operasi
serta bilamana perlu mengadakan perubahan bagan alir.
6.
Pencatatan
semua bahaya potensial yang berkaitan dengan setiap tahapan.
Pencatatan
semua bahaya potensial yang berkaitan dengan setiap tahapan, pengadaan suatu
analisa bahaya dan menyarankan berbagai pengukuran untuk mengendalikan
bahaya-bahaya yang teridentifikasi (lihat Prinsip 1). Tim HACCP harus membuat
daftar bahaya yang mungkin terdapat pada tiap tahapan dari produksi utama,
pengolahan, manufaktur, dan distribusi hingga sampai pada titik konsumen saat
konsumsi. Tim HACCP harus mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi
program HACCP dimana bahaya yang terdapat secara alami, karena sifatnya mutlak
harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima,
sehingga produksi pangan tersebut dinyatakan aman.
Dalam
mengadakan analisis bahaya, apabila mungkin seyogyanya dicakup hal-hal sebagai
berikut :
a) kemungkinan
timbulnya bahaya
b) pengaruh
yang merugikan terhadap kesehatan;
c) evaluasi
secara kualitatif dan atau kuantitatif dari keberadaan bahaya;
d) perkembangbiakan
dan daya
tahan hidup
mikroorganisme tertentu;
e) produksi
terus menerus toksin-toksin pangan, unsur-unsur fisika dan kimia;
f) kondisi-kondisi
yang memacu keadaan di atas.
Tim HACCP harus mempertimbangkan tindakan
pengendalian, jika ada yang dapat dilakukan untuk setiap bahaya. Lebih jauh
tindakan pengendalian disyaratkan untuk mengendalikan bahayabahaya tertentu dan
lebih, jauh satu bahaya dikendalikan oleh tindakan pengawasan yang tertentu.
7.
Penentuan
TKK (CCP) (Lihat Prinsip 2)
Untuk
mengendalikan bahaya yang sama mungkin terdapat lebih dari satu TKK pada saat
pengendalian dilakukan. Penentuan dari TKK pada sistem HACCP dapat dibantu
dengan menggunakan Pohon keputusan seperti pada Diagram 2, yang menyatakan
pendekatan pemikiran yang logis (masuk akal). Penerapan dari pohon keputusan
harus fleksibel, tergantung apakah operasi tersebut produksi, penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, distribusi atau lainnya. Pohon keputusan ini mungkin
tidak dapat diterapkan pada setiap TKK. Contoh-contoh pohon keputusan mungkin
tidak dapat diterapkan pada setiap situasi. Pendekatan-pendekatan lain dapat
digunakan. Dianjurkan untuk mengadakan pelatihan dalam penggunaan pohon
keputusan.
Dalam
banyak hal, pohon keputusan telah dipergunakan untuk menjelaskan untuk memahami
dan diterima akal untuk keperluan menentukan CCP, hal ini tidak spesifik untuk
semua operasi pangan, sebagai contoh rumah potong hewan dan oleh karena itu
harus dipergunakan untuk yang berkaitan dengan perkiraan yang profesional serta
memodifikasi beberapa kasus, maka produk atau proses harus dimodifikasi pada
tahap tersebut, atau pada tahap sebelum atau sesudahnya untuk memasukkan suatu
tindakan pengendalian.
8.
Penentuan
batas-batas kritis (critical limits) pada tiap TKK (CCP) (Lihat Prinsip 3)
Batas-batas
limit harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi apabila mungkin untuk
setiap TKK. Dalam beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan
pada suatu tahap khusus. Kriteria yang sering digunakan mencakup
pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, Aw,
keberadaan chlorine, dan parameter-parameter sensori seperti kenampakan visual
dan tekstur.
Batas
kritis harus ditentukan untuk setiap PTK. Dalam beberapa kasus batas kritis
criteria pengukurannya antara lain suhu, waktu, tingkat kelernbaban, pH, Aw dan
ketersediaan chlorine dan parameter yang berhubungan dengan panca indra
(penampakan dan tekstur).
9.
Penyusunan
sistem permantuan untuk setiap TKK (CCP)
(Lihat
Prinsip 4)
Pemantauan
merupakan pengukuran atau pengamatan terjadwal dari TKK yang dibandingkan
terhadap batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan
kendali pada TKK. Selanjutnya pemantauan seyogianya secara ideal member
informasi yang tepat waktu untuk mengadakan penyesuaian untuk memastikan
pengendalian proses untuk mencegah pelanggaran dari batas kritis. Dimana
mungkin, penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan
menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada suatu TKK.
Penyesuaian
seyogianya dilaksanakan sebelum terjadi penyimpangan. Data yang diperoleh dari
pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi tugas, berpengetahuan dan
berwewenang untuk melaksanakan tindakan perbaikan yang diperlukan. Apabila
pemantauan tidak berkesinambungan, maka jumlah atau frekuensi pemantauan harus
cukup untuk menjamin agar TKK terkendali.
Sebagian
besar prosedur pemantauan untuk TKK perlu dilaksanakan secara cepat, karena
berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia waktu lama untuk
melaksanakan pengujian analitis. Pengukuran fisik dan kimia seringkali lebih
disukai daripada pengujian mikrobiologi, karena dapat dilaksanakan dengan cepat
dan sering menunjukkan pengendalian mikrobiologi dari produk. Semua catatan dan
dokumen yang terkait dengan kegiatan pemantauan TKK harus ditanda tangani oleh
orang yang melakukan pengamatan dan oleh petugas yang, bertanggung jawab
melakukan peninjauan kembali dalarn perusahaan tersebut.
10. Penetapan tindakan perbaikan (Lihat Prinsip
5)
Tindakan
perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap TKK dalam system HACCP
agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakan-tindakan harus
memastikan bahwa CCP telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus
mencakup disposisi yang tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan
prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.
11. Penetapan prosedur verifikasi (Lihat Prinsip
6)
Penetapan
prosedur verifikasi. Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian,
termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisa, dapat dipergunakan untuk
menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar.
Frekuensi
verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja
secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup :
a.
Peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya.
b.
Peninjauan kembali penyimpangan dan disposisi
produk
c.
Mengkonfirmasi apakah TKK dalam kendali.
Apabila
memungkinkan, kegiatan validasi harus mencakup tindakan untuk mengkonfirmasi
kemanjuran semua elemen-elemen rencana HACCP.
12. Penetapan dokumentasi dan pencatatan (Lihat
Prinsip 7)
Pencatatan
dan pembuktian yang efisien serta akurat adalah penting dalam penerapan sistem
HACCP. Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup
memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.
F. Keuntungan dan Kerugian Penerapan HACCP
Setiap hal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Begitu pula di dalam
penerapan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) bagi sebuah
industry pangan, tentunya memiliki keuntungan dan kerugian.
Diantaranya :
1. Keuntungan
HACCP
Penerapan HACCP sebagai alat pengatur
keamanan pangan dapat memberikan keuntungan, yaitu mencegah terjadinya bahaya
sebelum mencapai konsumen, meminalkan
risiko kesehatan yang berkaitan dengan konsumsi makanan, meningkatkan
kepercayaan akan keamanan makanan olahan sehingga secara tidak langsung
mempromosikan perdagangan dan stabilitas usaha makanan.
2. Kerugian
HACCP
Beberapa
kerugian dari HACCP adalah tidak cocok bila diaplikasikan untuk bahaya atau
proses yang hanya sedikit diketahui, tidak melakukan kuantifikasi
(penghitungan) atau memprioritaskan risiko, dan tidak melakukan kuantifikasi
dampak dari tambahan kontrol terhadap penurunan risiko.
Akan
tetapi karena pada dasaranya HACCP ini diciptakan untuk tujuan kemaslahatan
manusia dalam kaitannya dengan pangan dan pemenuhan kebutuhan akan makanan maka
ada baiknya jika setiap perusahaan maupun industri di bidang pangan menerapkan
HACCP ini sebagai system kendali mutu pangan dari produk-prosuk yang dihasilkan.Agar
tercipta suatu kondisi pangan masyarakat yang kondusif, tanpa terjadi
kasus-kasus dalam hal pangan lagi di masa yang akan datang.
Sumber:
Fathonah, Siti. 2005. Higiene dan Sanitasi Makanan. Semarang :
UNNES Press.
Purnawijayanti, HA. 2001. Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja dalam
Pengolahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius.
Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Bandung : Alumni.
Minggu, 24 Januari 2016
MAKALAH FERMENTASI ‘’FERMENTASI KULIT SINGKONG (Manihot utilissima Pohl) MENGGUNAKAN Aspergillus niger PENGARUHNYA TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING (KBK) DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK (KBO) SECARA IN-VITRO
MAKALAH FERMENTASI
‘’FERMENTASI
KULIT SINGKONG (Manihot utilissima Pohl) MENGGUNAKAN Aspergillus
niger PENGARUHNYA TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING (KBK) DAN KECERNAAN BAHAN
ORGANIK (KBO) SECARA IN-VITRO’’
OLEH :
KELOMPOK
PUTRI SULHAM
WIJAYA D1C1 13 071
SARLINA D1C1 13 070
MULIANA D1C1 13
067
VICKY SAFRIANI D1C1 13 068
TPG B 2013
JURUSAN ILMU
DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS
TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘’FERMENTASI KULIT SINGKONG (Manihot
utilissima Pohl) MENGGUNAKAN Aspergillus niger PENGARUHNYA TERHADAP
KECERNAAN BAHAN KERING (KBK) DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK (KBO) SECARA IN-VITRO’’ dengan tepat. Kami haturkan ribuan terima kasih juga atas setiap komponen
yang mendukung terselesaikannya makalah ini dan kami juga menghaturkan ribuan
maaf atas setiap kesalahan dalam makalah ini, sebagai kontribusi untuk kami,
sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun guna pembetulan kesalahan.
Demikian, makalah ini semoga bermanfaat bagi kita semua.
Kendari,
November 2015
Penulis
Sampul
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
Bab
I Pendahuluan
1.1.Rumusan Masalah
1.2.Tujuan dan Manfaat
BAB
II Pembahasan
2.1.
Sejarah dan Manfaat Fermentasi
2..1.1. Sejarah
Fermentasi
2.2.2.
Manfaat Fermentasi
2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi
2.2.1.Mikroba
2.2.2.. Lama Fermentasi
2.2.2.. Lama Fermentasi
2.2.3. pH (keasaman)
2.2.4. Suhu
2.2.5. Oksigen
2.3. metode
penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk analisis
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro
2.4. Hasil
penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger yang diukur dengan
Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan
Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan
analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial
2.4.1. Kecernaan Bahan Kering (KBK)
2.4.2. Kecernaan
Bahan Organik (KBO)
BAB
III Penutup
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fermentasi dalam pemrosesan
bahan pangan adalah pengubahan karbohidrat
menjadi alkohol
dan karbon dioksida atau asam amino organik
menggunakan ragi,
bakteri,
fungi
atau kombinasi dari ketiganya di bawah kondisi anaerobik. Perilaku
mikroorganisme terhadap makanan dapat menghasilkan dampak positif maupun
negatif, dan fermentasi makanan biasanya mengacu pada dampak positifnya. Sains
yang mempelajari fermentasi disebut dengan zimologi.
Fermentasi sering juga di sebut proses produksi energi dalam sel
dalam keadaan anaerobik
(tanpa oksigen).
Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan
tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi
sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan
respirasi anaerob yang merupakan oksigen sebagai penerima elektron akhir pada
saat pembentukan ATP.
Salah
satu contoh fermentasi yaitu singkong atau ubi kayu (Manihot utilissima Pohl)
yang merupakan salah satu sumber karbohidrat lokal Indonesia yang
menduduki urutan ketiga terbesar setelah padi dan jagung. Tanaman
tersebut merupakan bahan baku yang paling potensial untuk diolah menjadi tepung.
Singkong segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri atas kadar air sekitar
60%, pati 35%, serat kasar 2,5%, kadar protein 1%, kadar lemak 0,5% dan
kadar abu 1%, dan merupakan sumber karbohidrat dan serat pakan, namun
sedikit kandungan proteinnya. Singkong segar mengandung senyawa
glikosida sianogenik dan bila terjadi proses oksidasi oleh enzim linamarase
maka akan dihasilkan glukosa dan asam sianida (HCN) yang ditandai dengan
bercak warna biru, akan menjadi toksik (racun) bila dikonsumsi pada
kadar HCN lebih dari 50 ppm (Prabawati, 2011).
Produktivitas singkong di Indonesia
sebesar 22.677.866 ton. Sedangkan untuk di wilayah Jawa Tengah, produksi singkong
sebesar 3.336.490 ton dengan luas panen 162.491 ha (Badan Pusat Statistik,
2012). Setiap bobot singkong akan dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 16%
dari bobot tersebut (Hidayat, 2009), hal tersebut menunjukkan bahwa produksi
kulit singkong di wilayah Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 533.838,4 ton,
sehingga dari hasil tersebut dapat diperoleh pula produksi kulit singkong di
Jawa Tengah per hektar sebanyak 128,33 ton/ha. Singkong dipanen pada umur 6–8
bulan untuk varietas Genjah dan 9–12 bulan untuk varietas Dalam (Prihatman,
2000). Kulit singkong merupakan limbah kupasan hasil pengolahan gaplek,tapioka,
tape, dan panganan berbahan dasar singkong lainnya. Potensi kulit singkong di
Indonesia sangat melimpah, seiring dengan eksistensi negara ini sebagai salah
satu penghasil singkong terbesar di dunia dan terus mengalami peningkatan
produksi setiap tahunnya. Wikanastri (2012) menyatakan bahwa kandungan energi
(TDN) dan nutrien dalam limbah kulit singkong yaitu bahan kering 17,45%,
protein 8,11%, TDN 74,73%, serat kasar 15,20%, lemak kasar 1,29%, kalsium
0,63%, dan fosfor 022%. Jumlah limbah kulit singkong yang cukup besar ini
berpotensi untuk diolah
menjadi pakan ternak.
Hanya saja perlu pengolahan yang tepat agar racun sianida yang terkandung dalam
kulit singkong tidak meracuni ternak yang mengkonsumsinya.
Salah satu proses pengolahan yang
dapat menurunkan kandungan sianida dalam kulit singkong adalah proses
fermentasi menggunakan enzim dan asam
yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus niger. Baker (2006) menyatakan bahwa jamur
Aspergillus niger dikenal karena perannya sebagai produsen asam sitrat.
Asam sitrat yang diproduksi jamur Aspergillus niger berfungsi untuk
fermentasi. Organisme ini hidup pada sebuah saprobe tanah dengan beragam enzim
hidrolitik dan oksidatif yang terlibat dalam pemecahan lignoselulosa tanaman.
Salah satu penelitian menggunakan jamur Aspergillus niger pada
fermentasi kulit buah kakao, antara kulit buah kakao yang difermentasi
menggunakan jamur Aspergillus niger dengan yang tidak difermentasi
berpengaruh sangat nyata terhadap Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan
Bahan Organik (KBO) (Fajri, 2008). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
potensi kulit singkong yang difermentasi Aspergillus niger perlu
dilakukan untuk meningkatkan kualitasnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat di rumuskan
masalah sebagai berikut
- Bagaimana Sejarah dan Manfaat Fermentasi?
- Apa faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi ?
- Bagaimana metode penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro ?
- Bagaimana hasil penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger yang diukur dengan Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial ?
1.3. Tujuan dan
Manfaat
Tujuan dan Manfaat dalam makalah ini sebagai
berikut:
- Menjelaskan Sejarah dan Manfaat Fermentasi
- Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi
- Menjelaskan metode penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro.
- Menjelaskan hasil penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger yang diukur dengan Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah dan Manfaat Fermentasi
2..1.1. Sejarah Fermentasi
- 6000 SM, khamir telah digunakan untuk pembuatan minuman beralkohol.
- 4000 SM, di Mesir khamir digunakan sebagai pengembang roti.
- Abad ke 14 ditemukan metode destilasi alkohol.
- Di Timur Tengah dan China bakteri asam laktat telah digunakan untuk pengawetan susu.
- Bakteri asam asetat ditemukan sebelum penemuan Anthony Van Leuwenhoek.
- Colombus di Amerika mengembangkan fermentasi jagung.
- 1800-an, Carlsberg mengembangkan starter untuk inokulum bir.
- 1803, Thenard menemukan khamir penghasil alkohol
- 1857, Edward Buchner menemukan mikrobia penghasil alkohol.
- 1901, Rudolf Emmerich & Oscarlow menemukan antibiotik dihasilkan oleh Pseudomonas geruginosa
- 1918, Chaim Wismann menemukan Clostridium penghasil aseton.
- 1923, Pfizer menemukan Aspergillus niger penghasil asam sitrat.
- 1928, A. Fleming menemukan Penisilin oleh P. notatum untuk mengham bat pertumbuhan Staphylococcus aureus
- Selman Waksman menemukan Streptomyces griseus, mikrobia penghasil streptomisin.
- 1957, Louis Pasteur menemukan khamir penghasil alkohol, fermentasi vitamin, antibiotik, asam amino dan steroid.
- Tahun 1900-1920 merupakan periode penting perkembangan fermentasi gliserol, aseton, butanol dan enzim.
- 1960 mulai dikembangkan produksi biomassa oleh mikrobia untuk sumber protein.
- Periode selanjutnya penelitian lebih ditujukan pada rekayasa genetik.
2.2.2. Manfaat Fermentasi
- Pengawetan makanan
- Penganekaragaman pangan
- Menghambatan pertumbuhan mikroorganisme patogen
- Meningkatkan nilai gizi makanan
Dalam makanan fermentasi nilai
gizi dapat meningkat karena:
- Mikroorganisme juga menghasilkan vitamin dan faktor-faktor tumbuh
- Daya cerna makanan meningkat
- Penguraian selulosa dan hemiselulosa dll yang tidak dapat dicerna oleh manusia menjadi gula-gula sederhana
Bahan Baku Fermentasi
- Bahan baku utama (sumber energi/karbon) fasa gas, cair atau padat mengandung gula dasar, pati atau lignoselulosa terdefinisi, ramuan kompleks atau limbah
- Nutrisi sumber nitrogen dan mineral, vitamin faktor pertumbuhan
- Air dan udara
- Bahan lain inhibitor stabilisator antibusa pengatur pH
Mikroorganisme penyebab
fermentasi:
- Mikroorganisme proteolitik (pengurai protein) Protein à nitrogen dan senyawa2 berbau busuk
- Mikroorganisme lipolitik (pengurai lipid) Lipid à senyawa2 berbau tengik atau bau amis
- Fermentasi (pengurai karbohidrat/glukosa) karbohidrat à alkohol, asam organik, dan co
2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi
Fermentasi dapat
terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada
substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan
perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan
bahan pangan (Winarno etal.,1980).
Pada umumnya cara-cara
pengawetan pangan ditujukan untuk menghambat atau membunuh mikroba. Sebaliknya
fermentasi adalah suatu cara pengawetan yang mempergunakan mikroba tertentu
untuk menghasilkan asam atau komponen lainnya yang dapat menghambat mikroba
perusak lainnya.
Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi anaerob atau partial anaerobic dari karbohidrat dan menghasilkan alkohol serta beberapa asam. Namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat protein dan lemak (Muchtadi, 1989).
Hasil dari fermentasi terutama tergantung pada berbagai faktor, yaitu jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Mikroba yang bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunannya terutama menjadi alkohol, asam dan CO2.
Mikroba proteolitik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginikan sedangkan mikroba lipolitik akan memecah atau menghidrolisa lemak, fosfolipida dan turunannya dengan menghasilkan bau yang tengik (Winarno et al., 1980). Bila alkohol dan asam yang dihasilkan oleh mikroba fermentatif cukup tinggi maka pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dihambat. Prinsip fermentasi sebenarnya adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme dari mikroba pembentuk alkohol dan asam, dan menekan pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik. Faktor- faktor yang mempengaruhi fermentasi yaitu jumlah mikroba, lama fermentasi, pH (keasaman), substrat (medium), suhu, alkohol, oksigen, garam dan air.
Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi anaerob atau partial anaerobic dari karbohidrat dan menghasilkan alkohol serta beberapa asam. Namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat protein dan lemak (Muchtadi, 1989).
Hasil dari fermentasi terutama tergantung pada berbagai faktor, yaitu jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Mikroba yang bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunannya terutama menjadi alkohol, asam dan CO2.
Mikroba proteolitik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginikan sedangkan mikroba lipolitik akan memecah atau menghidrolisa lemak, fosfolipida dan turunannya dengan menghasilkan bau yang tengik (Winarno et al., 1980). Bila alkohol dan asam yang dihasilkan oleh mikroba fermentatif cukup tinggi maka pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dihambat. Prinsip fermentasi sebenarnya adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme dari mikroba pembentuk alkohol dan asam, dan menekan pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik. Faktor- faktor yang mempengaruhi fermentasi yaitu jumlah mikroba, lama fermentasi, pH (keasaman), substrat (medium), suhu, alkohol, oksigen, garam dan air.
2.2.1.Mikroba
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan kultur murni atau starter. Banyaknya mikroba (starter/inokulum) yang ditambahkan berkisar antara 3–10 % dari volume medium fermentasi. Penggunaan inokulum yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk selalu berubah-ubah. Inokulum adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial.
Kriteria untuk kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah :
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan kultur murni atau starter. Banyaknya mikroba (starter/inokulum) yang ditambahkan berkisar antara 3–10 % dari volume medium fermentasi. Penggunaan inokulum yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk selalu berubah-ubah. Inokulum adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial.
Kriteria untuk kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah :
(a) sehat dan berada dalam keadaan
aktif sehingga dapat mempersingkat fase adaptasi
(b) tersedia cukup sehingga dapat
menghasilkan inokulum dalam takaran yang optimum .
(c) berada dalam bentuk morfologi
yang sesuai
(d) bebas kontaminasi
(e) dapat
mempertahankan kemampuannya membentuk produk Rachman,1989).
2.2.2..
Lama Fermentasi
Menurut
Buckle et al., (1985) bila suatu sel mikroorganisme diinokulasikan pada media
nutrien agar, pertumbuhan yang terlihat mula mula adalah suatu pembesaran
ukuran, volume dan berat sel. Ketika ukurannya telah mencapai kira-kira dua
kali dari besar sel normal, sel tersebut membelah dan menghasilkan dua sel.
Sel-sel tersebut kemudian tumbuh dan membelah diri menghasilkan empat sel.
Selama kondisi memungkinkan, pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung terus
sampai sejumlah besar populasi sel terbentuk.
Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies dan kondisi lingkungannya, tetapi untuk kebanyakan bakteri waktu ini berkisar antara 10 – 60 menit. Tipe pertumbuhan yang cepat ini disebut pertumbuhan logaritmis atau eksponensial karena bila log jumlah sel digambarkan terhadap waktu dalam grafik akan menunjukkan garis lurus. Tetapi pada kenyataannya tipe pertumbuhan eksponensial ini tidak langsung terjadi pada saat sel dipindahkan ke medium pertumbuhan dan tidak terjadi secara terus menerus (Rachman, 1989).
Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies dan kondisi lingkungannya, tetapi untuk kebanyakan bakteri waktu ini berkisar antara 10 – 60 menit. Tipe pertumbuhan yang cepat ini disebut pertumbuhan logaritmis atau eksponensial karena bila log jumlah sel digambarkan terhadap waktu dalam grafik akan menunjukkan garis lurus. Tetapi pada kenyataannya tipe pertumbuhan eksponensial ini tidak langsung terjadi pada saat sel dipindahkan ke medium pertumbuhan dan tidak terjadi secara terus menerus (Rachman, 1989).
2.2.3.
pH (keasaman)
Makanan
yang mengandung asam biasanya tahan lama, tetapi jika oksigen cukup jumlahnya
dan kapang dapat tumbuh serta fermentasi berlangsung terus, maka daya awet dari
asam tersebut akan hilang. Pada keadaan ini mikroba proteolitik dan lipolitik
dapat berkembang biak.
Sebagai contoh misalnya susu segar pada umumnya akan ditumbuhi dengan beberapa macam mikroba, mula-mula adalah Streptococcus lactis akan menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri.
Selanjutnya bakteri menjadi inaktif sehingga akan tumbuh bakteri jenis Lactobacillus yang Iebih toleran terhadap asam. Lactobacillus juga akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk "curd" susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis,sehingga keduanya akan menurunkan asam sampai titik di mana bakteri pembusuk proteolitik dan lipolitik akan mencerna "curd" dan menghasilkan gas serta bau busuk.
Sebagai contoh misalnya susu segar pada umumnya akan ditumbuhi dengan beberapa macam mikroba, mula-mula adalah Streptococcus lactis akan menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri.
Selanjutnya bakteri menjadi inaktif sehingga akan tumbuh bakteri jenis Lactobacillus yang Iebih toleran terhadap asam. Lactobacillus juga akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk "curd" susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis,sehingga keduanya akan menurunkan asam sampai titik di mana bakteri pembusuk proteolitik dan lipolitik akan mencerna "curd" dan menghasilkan gas serta bau busuk.
.2.2.4.
Suhu
Tiap-tiap
mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimal, minimal dan optimal yaitu
suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri tercepat.
Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan suhu
pertumbuhan yang diperlukannya yaitu golongan psikrofil, tumbuh pada suhu
dingin dengan suhu optimal 10 – 20°C, golongan mesofil tumbuh pada suhu sedang
dengan suhu optimal 20 – 45°C dan golongan termofil tumbuh pada suhu tinggi
dengan suhu optimal 50 – 60°C (Gaman and Sherrington, 1992). Suhu fermentasi
sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama fermentasi. Bakteri
bervariasi dalam hal suhu optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan asam.
Kebanyakan bakteri dalam kultur laktat mempunyai suhu optimum 30°C, tetapi
beberapa kultur dapat membentuk asam dengan kecepatan yang sama pada suhu 37°C
maupun 30°C. Suhu yang lebih tinggi dari 40°C pada umumnya menurunkan kecepatan
pertumbuhan dan pembentukan asam oleh bakteri asam laktat, kecuali kultur yang
digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu L.bulgaricus dan S.thermophilus
memiliki suhu optimum 40 - 45°C (Rahman et al., 1992).
Inkubasi dengan suhu 43°C selama 4 jam terjadi peningkatan produksi berbagai enzim dari L.bulgaricus dan S.thermophilus antara lain enzim laktase dan 8 orthonitrophenol ß-d-galaktopyranosid.
Inkubasi dengan suhu 43°C selama 4 jam terjadi peningkatan produksi berbagai enzim dari L.bulgaricus dan S.thermophilus antara lain enzim laktase dan 8 orthonitrophenol ß-d-galaktopyranosid.
2.2.5.
Oksigen
Tersedianya
oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Jamur bersifat aerobik
(memerlukan oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat aerobik atau anaerobik
tergantung pada kondisinya.
Bakteri diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu aerob obligat (tumbuh jika persediaan oksigen banyak), aerob fakultatif (tumbuh jika oksigen cukup, juga dapat tumbuh secara anaerob), anaerob obligat (tumbuh jika tidak ada oksigen) dan anaerob fakultatif (tumbuh jika tidak ada oksigen juga dapat tumbuh secara aerob) (Gaman and Sherrington, 1992).
Bakteri diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu aerob obligat (tumbuh jika persediaan oksigen banyak), aerob fakultatif (tumbuh jika oksigen cukup, juga dapat tumbuh secara anaerob), anaerob obligat (tumbuh jika tidak ada oksigen) dan anaerob fakultatif (tumbuh jika tidak ada oksigen juga dapat tumbuh secara aerob) (Gaman and Sherrington, 1992).
2.3. metode penelitian kulit singkong (Manihot
utilissima Pohl) untuk analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik secara in vitro
Materi yang akan digunakan dalam penelitian adalah
kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang diambil dari sentra
pengolahan gethuk goreng di wilayah Sokaraja, Jawa Tengah, kultur jamur Aspergillus
niger yang diperoleh dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman,
cairan rumen sapi yang diambil dari Rumah Potong Hewan Mersi Purwokerto
segera setelah sapi dipotong, seperangkat alat dan bahan yang digunakan
untuk analisis Kecernaan Bahan Kering
dan Bahan Organik secara in vitro.
Metode penelitian dilakukan menggunakan metode
experimental in vitro berdasarkan metode Tilley and Terry (1963).
Perlakuan yang diteliti yaitu S :
Kulit Singkong tanpa fermentasi, S10 : Kulit Singkong difermentasi
dengan jamur Aspergillus niger 1 %, S : Kulit Singkong difermentasi dengan jamur Aspergillus niger 2 %, S32 : Kulit Singkong difermentasi dengan jamur
Aspergillus niger 3 %. Peubah yang diukur dalam penelitian ini yaitu Kecernaan
Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik
(KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji
orthogonal polynomial.
2.4. Hasil
penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus
niger yang diukur dengan Kecernaan Bahan
Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan
analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial
2.4.1. Kecernaan Bahan Kering (KBK)
Kecernaan
bahan kering kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus nigermempunyai
kisaran nilai antara 23,72% sampai 50,74%, dengan rataan tertera pada Tabel 1.
Hasil
dari tabel 1 memperlihatkan bahwa kulit singkong yang difermentasi menggunakan
Aspergillus niger memiliki rataan
kecernaan bahan kering yang tergolong rendah karena kurangdari 50%, namun
hasilnya tetap meningkat bila dibandingkan dengan yang tidak mendapat perlakuan
fermentasi, yaitu peningkatan sebesar 12,43% untuk bahan kering dari S . Hal
ini dapat diperoleh mengingat kulit singkong mengandung asam sianida. Sifat
racun pada biomass ketela pohon (termasuk kulitnya umbinya) terjadi akibat
terbebasnya HCN darglukosida sianogenik yang dikandungnya (Rustandi, 2012). HCN
adalah larutan tidak berwarna bersifat racun dan mudah menguap (Sandi, 2012).
Diperkirakan asam sianida yang terkandung dalam kulit singkong belum sepenuhnya
hilang meskipun sudah mendapat perlakuan fermentasi oleh Aspergillus niger sebesar
1%, 2% dan 3%.
Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa fermentasi kulit singkong menggunakan
Aspergillus niger berpengaruh sangat
nyata (P<0.01) terhadap kecernaan bahan kering. Kemudian
hasil uji lanjut orthogonal
polynomial menunjukkan bahwa perlakuan memberikan respon
kuadrater terhadap kecernaan
bahan kering dengan persamaan Y = 28.299 + 20.155x - 5.155x
dengan koefisien
determinasi (r2) 0.834 (gambar 1) yang berarti bahwa perlakuan memiliki pengaruh
sebesar 83,4% terhadap kecernaan bahan kering. Supriyati et al. (1998)
menyatakan bahwa fermentasi dengan menggunakan
kapang memungkinkan terjadinya perombakan komponen
bahan yang sulit dicerna menjadi lebih tersedia. Aspergillus niger dapat
menghasilkan enzim selulase yang berperan
mendegradasi selulosa yang membungkus pati pada kulit singkong, dimana kadar selulosa pada kulit singkong cukup tinggi
sekitar 5%. Kadar HCN menurun seiring dengan bertambahnya lama fermentasi
karena semakin bertambahnya waktu fermentasi maka semakin meningkat pula kemampuan enzim dalam mendegradasi
linamarin menjadi senyawa yang tidak
membahayakan.
Gambar 1 menunjukkan
bahwa hasil penggunaan Aspergillus niger pada kulit singkong di level 2%
lebih optimal meningkatkan kecernaan bahan kering dibandingkan dengan level 0%
(S),1% (S1), dan 3% (S) dengan titik belok berada di ordinat (1.955 ; 47.999).
Ini berarti titik optimal fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus
niger berada pada hasil yang optimal di level 2% (S23) dengan nilai
kecernaan bahan keringnya sebesar 47,99%. Kecernaan bahan kering paling rendah
berada di level 0% yang memiliki kecernaan bahan kering sebesar 28,94%. Dalam aktivitasnya
kapang menggunakan karbohidrat sebagai sumber karbon. Pemecahan karbohidrat akan
diikuti pembebasan energi, karbondioksida dan air. Panas yang dibebaskan
menyebabkan suhu substrat meningkat. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa
untuk hidup semua organisme membutuhkan sumber energi yang diperoleh dari
metabolisme bahan pangan tempat organisme
berada di dalamnya.
Dalam hal ini, yang berperan sebagai sumber energi adalah karbohidrat yang terkandung
dalam kulit singkong dan sebagai sumber nitrogen berasal dari urea yang ditambahkan.
Andayani (2010) menambahkan bahwa urea yang ditambahkan pada proses fermentasi
akan diurai oleh enzim urease menjadi amonia dan karbon dioksida yang
selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino. Amoniasi dapat digunakan
sebagai salah satu cara untuk memperbaiki kandungan nitrogen, meningkatkan
kecernaan serat kasar sekaligus dapat meningkatkan konsumsi. Amoniasi dengan
menggunakan urea sebagai
sumber amonia
merupakansalah satu cara yang memberikan harapan baik untuk meningkatkan
nutrien pakan, dimana dapatmeningkatkan kandungan bahan kering dan nitrogen
akibat naiknya kecernaan dan konsumsibahan kering.
Faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan kering adalah aktivitasmikroba
dalam rumen, kualitas cairan rumen yang digunakan, persentase lignin dalam
bahanpakan, pengontrolan pH rumen, kondisi temperatur dalam shaker waterbatch,
kondisi fisik bahanpakan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan.
Gambar 1 menunjukkan bahwa
penggunaan 2% Aspergillus niger pada
kulit singkong (S) menghasilkan kecernaan bahan kering yang lebih
tinggi daripada penggunaan Aspergillus niger pada S0, S1 dan S yaitu
49,92±0,76%. Peningkatan kecernaan bahan kering dari level 0% dan level 1% adalah sebesar 12,43%. Sedangkan dari level 1% dan level 2% adalah sebesar 8,55%.
Level 2% dan
level 3% mengalami penurunan sebesar 8,19%.
Kemampuan bahan pakan dalam
menyediakan nutrien bagi mikroflora rumen dan hewan inang dapat dilihat
dari hasil kecernaan bahan kering bahan pakan tersebut. Semakin tinggi tingkat
kecernaan bahan kering maka dapat disimpulkan bahwa bahan pakan tersebut cukup
berkualitas untuk diberikan kepada ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan 2% Aspergillus niger pada
kulit singkong (S) menghasilkan kecernaan bahan kering yang lebih tinggi
daripada penggunaan Aspergillus niger pada S20, S1 dan S yaitu 49,92± 1,76%.
2.4.2. Kecernaan
Bahan Organik (KBO)
Kecernaan Bahan
Organik
Kecernaan bahan organik kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus
niger mempunyai kisaran nilai antara 33,16% sampai 49,16%, dengan rataan
tertera pada Tabel 2. Hasil dari
tabel 2 memperlihatkan bahwa kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus
niger memiliki rataan kecernaan bahan organik yang tergolong rendah karena
kurang dari 50%, namun hasilnya tetap meningkat bila dibandingkan dengan
yang tidak mendapat perlakuan fermentasi, yaitu peningkatan sebesar 6%
untuk bahan organik dari S. Sama halnya dengan kecernaan bahan kering,
diperkirakan asam sianida yang terkandung dalam kulit singkong belum sepenuhnya
hilang meskipun sudah mendapat perlakuan fermentasi oleh Aspergillus niger sebesar
1%, 2% dan 3%. Perbedaan nilai kecernaan bahan organik tersebut disebabkan oleh
karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering suatu bahan pakan.
Hasil analisis
variansi menunjukkan bahwa fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus
niger berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kecernaan bahan
organik. Hasil uji lanjut orthogonal polynomial menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan respon kuadrater
terhadap kecernaan
bahan organik dengan persamaan Y = 31.967 + 14.926x - 4.057x dengan
koefisien determinasi (r2) 0.613 (gambar 2) yang
berarti bahwa perlakuan memiliki pengaruh sebesar
61,3 % terhadap kecernaan bahan organik dengan titik belok berada di ordinat
(1.839 ; 45.695). Ini berarti titik optimal
fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus niger berada pada hasil yang optimal di level 2% (S) dengan nilai
kecernaan bahan organiknya sebesar 45,69%.
Faktor utama yang
dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kecernaan bahan kering.
Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil penggunaan Aspergillus
niger pada kulit singkong dilevel 2% lebih optimal meningkatkan kecernaan
bahan organik dibandingkan dengan level 0% (S),1% (S1), dan 3% (S). Kecernaan
bahan organik paling rendah berada di level 0% yang memiliki kecernaan bahan
organik sebesar 33,16%. Bahan organik merupakan bagian dari bahan keringsuatu
bahan pakan. Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya bahwa dengan semakin tingginya
Aspergillus niger maka akan semakin besar pula kandungan bahan kering
yang didegradasi sebagai sumber energi untuk Aspergillus niger dan
menyebabkan kandungan bahankering maupun organik mengalami penurunan. Turunnya
kandungan bahan organik kulit singkong yang difermentasi inilah yang mungkin
dapat menyebabkan turunnya kecernaan bahan organik. Ditambahkan pula oleh
Suwandyastuti (1991), bahan pakan yang mempunyai kandungan nutrienyang sama
memungkinkan kecernaan bahan organiknya mengikuti kecernaan bahan keringnya, tetapi
sering terjadi perbedaan.
Menurut Ginting (2005), proses
degradasi substrat penghasil energi dan proses sintesis protein oleh mikroba
sulit dipisahkan. Pertumbuhan mikroba didukung oleh fermentasi substrat, sedangkan
fermentasi substrat dilakukan oleh perkembangan mikroba. Penurunan dan
perubahan bahan organik selama fermentasi dipengaruhi oleh respirasi dan
kerusakan oleh mikroorganisme, karena bahan organik seperti protein,
karbohidrat,lemak maupun vitamin merupakan komponen utama sel (Buckle, 1987).
Selanjutnya (Francis 1982), mengemukakan
bahwa untuk pertumbuhan Selnya, mikroorganisme membutuhkan karbon, terutama
yang berasal dari bahan organik. Zain (1999), menjelaskan bahwa kecernaan pakan
pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba rumen.
Menurut Aryo (2010) dengan meningkatnya jumlah mikrobia rumen, maka dapat
meningkatkan aktifitas degradasi bahan organik pakan secara fermentatif menjadi
senyawa sederhana yang mudah larut, akibatnya dapat meningkatkan penyerapan
zat-zat organik. Peningkatan kecernaan bahan organik substrat akan mengikuti
peningkatan kecernaan bahan kering substrat (Mutahadin dan Liman, 2006). Hal
ini karena bahan organik merupakan komponen terbesar dari bahan kering substrat
(Munasik, 2007).
(S2 Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan 2% Aspergillus niger
pada kulit singkong ) menghasilkan kecernaan bahan organik yang lebih
tinggi daripada penggunaan Aspergillus niger pada S0, S1 dan S yaitu 49,16±0,75%. Peningkatan kecernaan
bahan organik dari level 0%(S0) dan level 1% (S13) adalah
sebesar 6,1%. Sedangkan dari level 1%
dan level 2% (S) adalah sebesar 9,9%.
Level 2% dan level 3% (S) mengalami
penurunan sebesar 10,12%.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
penggunaan optimal Aspergillus niger terhadap kecernaan bahan kering dan
bahan organik berada pada level 2% yaitu sebesar 47,99% untuk kecernaan bahan
kering dan 49,16% untuk kecernaan bahan organik.
DAFTAR PUSTAKA
Aryo, Galih Putro. 2010. Pengaruh Suplementasi Probiotik Cair EM4
Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan
Bahan Organik Ransum Domba Lokal Jantan.
Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Produktivitas Tananaman Ubi Kayu di
Seluruh Provinsi Tahun2012. Badan
Pusat Statistik.
Baker, S. E. 2006. Aspergillus
niger genomics: Past, present and into the future. Medical Mycology. 44: S17-S21.
Buckle, K.A., G.H. Edward, dan M.
Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia
Press.Jakarta.
Ginting, Simon Petrus. 2005. Sinkronisasi Degradasi Protein dan Energi
dalam Rumen untukMemaksimalkan
Produksi Protein Mikroba. WARTAZOA. 15 (1).
Langganan:
Postingan (Atom)