Sabtu, 13 Februari 2016

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN “Pembuatan Ragi Tempe dan Tape”



Pengawasan Mutu Dan Sertifikasi Pangan HACCP



PENGAWASAN MUTU DAN SERTIFIKASI PANGAN
“HACCP”


 











Oleh:
PUTRI SULHAM WIJAYA
D1C1 13 071

TPG B 2013





ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

HACCP
A. Pengertian HACCP
Menurut WHO, Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis and Critical Control Points / HACCP) didefinisikan sebagai suatu pendekatan ilmiah, rasional, dan sistematik untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengendalikan bahaya.
Dillon and Griffith (1996) dalam buku Hygiene dan Sanitasi Makanan (Siti Fathonah, 2005) mendefinisikan HACCP sebagai sistem manajemen keamanan makanan, dengan strategi mencegah bahaya dan resiko yang terjadi pada titik-titik kritis pada rantai produksi makanan. Sedangkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) Indonesia mendefinisikan HACCP sebagai suatu sistem untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya yang nyata bagi keamanan pangan.
HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu yang berdasarkan kepada kesadaran bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol bahaya bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan, daripada mengandalkan kepada pengujian produk akhir.
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimalkan resiko bahaya keamanan pangan. Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik.
HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen utama bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga sampai kepada pengguna akhir.
Hazard Analysis, adalah analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya yang tidak dapat diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai produksi pangan yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah keamanan pangan. Bahaya tersebut meliputi :
1.     Keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau fisik pada bahan mentah.
2.     Pertumbuhan atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasilperubahan kimiawi yang  tidak dikehendaki (misalnya nitrosamin) pada produk antara atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
3.     Kontaminasi atau kontaminasi ulang ( cross contamination) pada produk antara atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
Critical Control Point (CCP atau titik pengendalian kritis), adalah langkah dimana pengendalian dapat diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau menghilangkan bahaya atau menguranginya sampai titik aman (Bryan, 1995).
Titik pengendalian kritis (CCP) dapat berupa bahan mentah, lokasi, praktek, prosedur atau pengolahan dimana pengendalian dapat diterapkan untuk mencegah atau mengurangi bahaya. Ada dua titik pengendalian kritis:
a.    Titik Pengendalian Kritis 1 (CCP-1), adalah sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan
b.    Titik Pengendalian Kritis 2 (CCP-2), adalah sebagai titik dimana bahaya dikurangi.
Karena HACCP dikenal sebagai sistem keamanan pangan yang efektif, maka dengan menerapkan HACCP secara konsekuen maka perusahaan jaminan pangan akan dapat memberikan kepercayaan pada pelanggan terhadap jaminan keamanan yang telah dilakukan, dan akan memberikan kesan yang baik bahwa industri pangan yang bersangkutan memenuhi komitmen yang kuat dan profesional dalam menjamin keamanan pangan. Bahkan suatu industri pangan penerap HACCP dapat mendemonstrasikan bahwa sistem keamanan pangannya telah memenuhi persyaratan regulasi pemerintah dalam menjamin masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya bahaya keamanan pangan.

B. Sejarah Berkembangnya HACCP
Konsep HACCP pertama kali dikembangkan ketika perusahaan Pillsbury di Amerika Serikat bersama-sama dengan US Army Nautics
Research and Development Laboratories, The National Aeronautics and Space Administration serta US Air Force Space Laboratory Project Group pada tahun 1959 diminta untuk mengembangkan makanan untuk dikonsumsi astronot pada gravitasi nol. Untuk itu dikembangkan makanan berukuran kecil ( bite size ) yang dilapisi dengan pelapis edible yang menghindarkannya dari hancur dan kontaminasi udara. Misi terpenting dalam pembuatan produk tersebut adalah menjamin keamanan produk agar para astronot tidak jatuh sakit. Dengan demikian perlu dikembangkan pendekatan yang dapat memberi jaminan mendekati 100% aman. 
Tim tersebut akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa, cara terbaik untuk mendapatkan jaminan tertinggi adalah dengan sistem pencegahan dan penyimpanan rekaman data yang baik. Konsep yang saat ini dikenal sebagai HACCP ini, jika diterapkan dengan tepat dapat mengendalikan titik-titik atau daerah-daerah yang mungkin menyebabkan bahaya. Masalah bahaya ini didekati dengan cara mengamati satu per satu bahan baku proses dari sejak di lapangan sampai dengan pengolahannya. Bahaya yang dipertimbangkan adalah bahaya patogen, logam berat, toksin, bahaya fisik, dan kimia serta perlakuan yang mungkin dapat mengurangi cemaran tersebut. Disamping itu, dilakukan pula analisis terhadap proses, fasilitas dan pekerja yang terlibat pada produksi pangan tersebut. 
Pada tahun 1971, untuk pertama kalinya sistem HACCP ini dipaparkan kepada masyarakat di negara Amerika Serikat di dalam suatu Konferensi Nasional Keamanan Pangan. Pada tahun berikutnya Pillsbury mendapat kontrak untuk memberikan pelatihan HACCP kepada badan Food and Drug Adminstration (FDA). Dokumen lengkap HACCP pertama kali diterbitkan oleh Pillsbury pada tahun 1973 dan disambut baik oleh FDA dan secara sukses diterapkan pada makanan kaleng berasam rendah. 
Pada tahun 1985, The National Academy of Scienses (NAS) merekomendasikan penerapan HACCP dalam publikasinya yang berjudul An Evaluation of The Role of Microbiological Criteria for Foods and Food Ingredients. Komite yang dibentuk oleh NAS kemudian menyimpulkan bahwa sistem pencegahan seperti HACCP ini lebih dapat memberikan jaminan kemanan pangan jika dibandingkan dengan sistem pengawasan produk akhir. 
Selain NAS, lembaga internasional seperti International Commission on Microbiological Spesification for Foods (ICMSF) juga menerima konsep HACCP dan memperkenalkannya ke luar Amerika Serikat. Ketika NAS membentuk The National Advisory Commitee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF), maka konsep HACCP makin dikembangkan dengan disusunnya 7 prinsip HACCP yang dikenal sampai saat ini. Konsep HACCP kemudian diadopsi oleh berbagai badan internasional seperti Codex Alimentarius Commission (CAC) yang kemudian diadopsi oleh berbagai negara di dunia termasuk Indonesia . 
C. Perlunya Diterapkan HACCP bagi Industri Pangan
Konsep HACCP merupakan suatu metode manajemen keamanan pangan yang bersifat sistematis dan didasarkan pada prinsip-prinsip yang sudah dikenal, yang ditujukan untuk mengidentifikasi hazard (bahaya) yang kemungkinan dapat terjadi pada setiap tahapan dalam rantai persediaan makanan, dan tindakan pengendalian ditempatkan untuk mencegah munculnya hazard tersebut. HACCP merupakan akronim yang digunakan untuk mewakili suatu sistem hazard dan titik kendali kriti (Hazard Analysis and Critical Control Point).
HACCP merupakan suatu sistem manajemen keamanan makanan yang sudah terbukti dan didasarkan pada tindakan pencegahan. Identifikasi letak suatu hazard yang mungkin akan muncul di dalam proses, tindakan pengendalian yang dibutuhkan akan dapat ditempatkan sebagaimana mestinya. Hal ini untuk memastikan bahwa keamanan makanan memang dikelola dengan efektif dan untuk menurunkan ketergantungan pada metode tradisional seperti inspeksi dan pengujian.
Beberapa industri pangan dunia menyimpulkan bahwa bisnis pangan perlu dan harus menerapkan HACCP dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1.    Yang paling ditakuti pebisnis pangan adalah “food safety” karena hal itu tidak dapat diatasi dengan “product recall” yang mahal.
2.    Jaminan keamanan pangan adalah salah satu persyaratan standar dan juga wajib oleh Regulasi (UU pangan, UU perlindungan konsumen).
3.    Untuk menjadi kompetitif di pasar global.
4.    Menekankan pada mutu, “food safety”, dan eliminasi “economic fraud” (miss-labelling, kesalahan berat, salah ukuran) untuk menjaga keamanan bisnis.
5.    Membutuhkan sistem keamanan pangan yang sejalan dengan program yang sejalan dengan jaminan mutu.
6.    WTO telah mendesak negara anggota dan industri untuk melakukan harmonisasi perdagangan, ekivalensi sistem inspeksi, dan mengurangi hambatan teknis, serta merekomendasi CAC standar untuk memfasilitasi harmonisasi.
7.    CAC telah mengadopsi dan merekomendasi penerapan bagi industri pangan HACCP keseluruh dunia.
8.    Negara-negara mitra bisnis Indonesia telah mengubah regulasi mereka untuk implentasi HACCP.
D. Prinsip-Prinsip HACCP
Di dalam penerapannya, Hazard Analysis and Critical Control Point memiliki beberapa prinsip yang dilaksanakan. Sistem HACCP terdiri dari tujuh prinsip, yaitu :

1.       Melakukan analisis bahaya.
Segala macam aspek pada mata rantai produksi pangan yang dapat menyebabkan masalah keamanan pangan harus dianalisa. Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah keberadaan pencemar (kontaminan) biologis, kimiawi, atau fisik bahan pangan. Selain itu, bahaya lain mencakup pertumbuhan mikrroganisme atau perubahan kimiawi yang tidak dikehendaki selama proses produksi, dan terjadinya kontaminasi silang pada produk antara, produk jadi, atau lingkungan produksi. 
2.       Menentukan Titik Pengendalian Kritis (Critical Control Point).
Suatu titik, tahap, atau prosedur dimana bahaya yang berhubungan dengan pangan dapat dicegah, dieliminasi, atau dikurangi hingga ke titik yang dapat diterima (diperbolehkan atau titik aman). Terdapat dua titik pengendalian kritis yaitu Titik Pengendalian
Kritis 1 sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan, dan Titik Pengendalian Kritis 2 dimana bahaya dapat dikurangi. 
3.       Menentukan batas kritis.
Kriteria yang memisahkan sesuatu yang bisa diterima dengan yang tidak bisa diterima. Pada setiap titik pengendalian kritis, harus dibuat batas kritis dan kemudian dilakukan validasi. Kriteria yang umum digunakan dalam menentukan batas kritis HACCP pangan adalah suhu, pH, waktu, tingkat kelembaban, Aw, ketersediaan klorin, dan parameter fisik seperti tampilan visual dan tekstur. 
4.       Membuat suatu sistem pemantauan (monitoring) CCP.
Suatu sistem pemantauan (observasi) urutan, operasi, dan pengukuran selama terjadi aliran makanan. Hal ini termasuk sistem pelacakan operasi dan penentuan kontrol mana yang mengalami perubahan ketika terjadi penyimpangan. Biasanya, pemantauan harus menggunakan catatan tertulis. 


5.       Melakukan tindakan korektif apabila pemantauan mengindikasikan adanya CCP yang tidak berada di bawah kontrol.
Tindakan korektif spesifik yang diberlakukan pada setiap CCP dalam sistem HACCP untuk menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakan korektif tersebut harus mampu mengendalikan membawa CCP kembali dibawah kendali dan hal ini termasuk pembuangan produk yang mengalami penyimpangan secara tepat. 
6.       Menetapkan prosedur verifikasi untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif.
Prosedur verifikasi yang dilakukan dapat mencakup peninjauan terhadap sistem HACCP dan catatannya, peninjauan terhadap penyimpangan dan pengaturan produk, konfirmasi CCP yang berada dalam pengendalian, serta melakukan pemeriksaan (audit) metode, prosedur, dan uji. Setelah itu, prosedur verifikasi dilanjutkan dengan pengambilan sampel secara acak dan menganalisanya. Prosedur verifikasi diakhiri dengan validasi sistem untuk memastikan sistem sudah memenuhi semua persyaratan Codex dan memperbaharui sistem apabila terdapat perubahan di tahap proses atau bahan yang digunakan dalam proses produksi. 
7.       Melakukan dokumentasi terhadap seluruh prosedur dan catatan yang berhubungan dengan prinsip dan aplikasinya.
Beberapa contoh catatan dan dokumentasi dalam sistem HACCP adalah analisis bahaya, penetapan CCP, penetapan batas kritis, aktivitas pemantauan CCP, serta penyimpangan dan tindakan korektif yang berhubungan.

E. Pedoman Penerapan HACCP
HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan bukti secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia. Selain meningkatkan keamanan pangan, penerapan HACCP dapat memberikan keuntungan lain yang penting. Selanjutnya, penerapan sistem HACCP dapat membantu inspeksi oleh lembaga yang berwenang dan memajukan perdagangan internasional melalui peningkatan kepercayaan keamanan pangan. 
HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan buktI secara ilmiah terhadap resiko kesehatan manusia. Selain meningkatkan keamanan pangan, penerapan HACCP dapat memberikan keuntungan lain yang penting. Selanjutnya, penerapan sistem HACCP dapat membantu inspeksi oleh lembaga yang berwenang dan memajukan perdagangan internasional melalu peningkatan kepercayaan keamanan pangan. 
Sebelum menerapkan HACCP untuk setiap sektor rantai pangan, sektor tersebut harus telah menerapkan Prinsip Umum Higiene Pangan dari Codex, Pedoman Praktis dari Codex yang sesuai, serta peraturan keamanan pangan terkait, Tanggung jawab manajemen adalah penting untuk menerapkan sistem HACCP yang efektif. Selama melaksanakan identifikasi bahaya, penilaian dan pelaksanaan selanjutnya dalam merancang dan menerapkan sistem HACCP, harus dipertimbangkan dampak dan bahan baku, bahan tambahan, cara pembuatan pangan yang baik, peran proses pengolahan dalam mengendalikan bahaya, penggunaan yang mungkin dari produk akhir, katagori konsumen yang berkepentingan dan bukti-bukti epidemis yang berkaitan dengan keamanan pangan. 
Maksud dari sistem HACCP adalah untuk memfokuskan pada Titik Kendali Kritis (CCPs). Perancangan kembali operasi harus dipertimbangkan jika terdapat bahaya yang harus dikendalikan, tetapi tidak ditemukan TKK (CCPs). HACCP harus diterapkan terpisah untuk setiap operasi tertentu. TKK vang diidetitifikasi pada setiap contoh yang diberikan dalam setiap Pedoman praktek Higiene dari Codex mungkin bukan satu-satunya yang diidentifikasi untuk suatu penerapan yang spesifik atau mungkin berbeda jenisnya. Penerapan HACCP harus ditinjau kembali dan dibuat perubahan yang diperlukan jika dilakukan modifikasi dalam produk, proses atau tahapannya.
Penerapan HACCP perlu dilaksanakan secara fleksibel, dimana perubahan yang tepat disesuaikan dengan memperhitungkan sifat dan ukuran dari operasi.
Penerapan prinsip-prinsip HACCP terdiri dari tugas-tugas berikut sebagaimana terlihat pada tahap-tahap penerapan HACCP:
1.        Pembentukan tim HACCP
Operasi pangan harus menjamin bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu tersedia untuk pengembangan rencana HACCP yang efektif. Secara optimal, hal tersebut dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Adapun lingkup dari program HACCP harus diidentifikasi. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum bahayabahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi semua jenjang bahaya atau hanya jenjang tertentu).
2.        Deskripsi produk
Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi mengenai komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk Aw, pH, d1l.), perlakuan-perlakuan mikrosidal/statis (seperti perlakuan pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengasapan, dll.), pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya tahan serta metoda pendistribusiannya.
3.        Identifikasi rencana penggunaan
Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk atau konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompokkelompok populasi yang rentan, seperti yang menerima pangan dari institusi, mungkin perlu dipertimbangkan.
4.        Penyusunan bagan alir
Bagan alir harus disusun oleh tim HACCP. Dalam diagram alir harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut.
5.        Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan
Tim     HACCP,         sebagai            penyusun         bagan   alir       harus mengkonfirmasikan operasional produksi dengan semua tahapan dan jam operasi serta bilamana perlu mengadakan perubahan bagan alir.
6.        Pencatatan semua bahaya potensial yang berkaitan dengan setiap tahapan. 
Pencatatan semua bahaya potensial yang berkaitan dengan setiap tahapan, pengadaan suatu analisa bahaya dan menyarankan berbagai pengukuran untuk mengendalikan bahaya-bahaya yang teridentifikasi (lihat Prinsip 1). Tim HACCP harus membuat daftar bahaya yang mungkin terdapat pada tiap tahapan dari produksi utama, pengolahan, manufaktur, dan distribusi hingga sampai pada titik konsumen saat konsumsi. Tim HACCP harus mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP dimana bahaya yang terdapat secara alami, karena sifatnya mutlak harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga produksi pangan tersebut dinyatakan aman. 
Dalam mengadakan analisis bahaya, apabila mungkin seyogyanya dicakup hal-hal sebagai berikut : 
a)      kemungkinan timbulnya bahaya 
b)      pengaruh yang merugikan terhadap kesehatan;
c)      evaluasi secara kualitatif dan atau kuantitatif dari keberadaan bahaya;
d)     perkembangbiakan    dan      daya    tahan   hidup   mikroorganisme tertentu;
e)      produksi terus menerus toksin-toksin pangan, unsur-unsur fisika dan kimia;
f)       kondisi-kondisi yang memacu keadaan di atas.
   Tim HACCP harus mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang dapat dilakukan untuk setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian disyaratkan untuk mengendalikan bahayabahaya tertentu dan lebih, jauh satu bahaya dikendalikan oleh tindakan pengawasan yang tertentu.
7.        Penentuan TKK (CCP) (Lihat Prinsip 2)
Untuk mengendalikan bahaya yang sama mungkin terdapat lebih dari satu TKK pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari TKK pada sistem HACCP dapat dibantu dengan menggunakan Pohon keputusan seperti pada Diagram 2, yang menyatakan pendekatan pemikiran yang logis (masuk akal). Penerapan dari pohon keputusan harus fleksibel, tergantung apakah operasi tersebut produksi, penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, distribusi atau lainnya. Pohon keputusan ini mungkin tidak dapat diterapkan pada setiap TKK. Contoh-contoh pohon keputusan mungkin tidak dapat diterapkan pada setiap situasi. Pendekatan-pendekatan lain dapat digunakan. Dianjurkan untuk mengadakan pelatihan dalam penggunaan pohon keputusan.
Dalam banyak hal, pohon keputusan telah dipergunakan untuk menjelaskan untuk memahami dan diterima akal untuk keperluan menentukan CCP, hal ini tidak spesifik untuk semua operasi pangan, sebagai contoh rumah potong hewan dan oleh karena itu harus dipergunakan untuk yang berkaitan dengan perkiraan yang profesional serta memodifikasi beberapa kasus, maka produk atau proses harus dimodifikasi pada tahap tersebut, atau pada tahap sebelum atau sesudahnya untuk memasukkan suatu tindakan pengendalian.
8.        Penentuan batas-batas kritis (critical limits) pada tiap TKK (CCP) (Lihat Prinsip 3)
Batas-batas limit harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi apabila mungkin untuk setiap TKK. Dalam beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan pada suatu tahap khusus. Kriteria yang sering digunakan mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, Aw, keberadaan chlorine, dan parameter-parameter sensori seperti kenampakan visual dan tekstur.
Batas kritis harus ditentukan untuk setiap PTK. Dalam beberapa kasus batas kritis criteria pengukurannya antara lain suhu, waktu, tingkat kelernbaban, pH, Aw dan ketersediaan chlorine dan parameter yang berhubungan dengan panca indra (penampakan dan tekstur).
9.        Penyusunan sistem permantuan untuk setiap TKK (CCP) 
(Lihat Prinsip 4)
Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan terjadwal dari TKK yang dibandingkan terhadap batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali pada TKK. Selanjutnya pemantauan seyogianya secara ideal member informasi yang tepat waktu untuk mengadakan penyesuaian untuk memastikan pengendalian proses untuk mencegah pelanggaran dari batas kritis. Dimana mungkin, penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada suatu TKK. 
Penyesuaian seyogianya dilaksanakan sebelum terjadi penyimpangan. Data yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi tugas, berpengetahuan dan berwewenang untuk melaksanakan tindakan perbaikan yang diperlukan. Apabila pemantauan tidak berkesinambungan, maka jumlah atau frekuensi pemantauan harus cukup untuk menjamin agar TKK terkendali. 
Sebagian besar prosedur pemantauan untuk TKK perlu dilaksanakan secara cepat, karena berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia waktu lama untuk melaksanakan pengujian analitis. Pengukuran fisik dan kimia seringkali lebih disukai daripada pengujian mikrobiologi, karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan sering menunjukkan pengendalian mikrobiologi dari produk. Semua catatan dan dokumen yang terkait dengan kegiatan pemantauan TKK harus ditanda tangani oleh orang yang melakukan pengamatan dan oleh petugas yang, bertanggung jawab melakukan peninjauan kembali dalarn perusahaan tersebut.
10.  Penetapan tindakan perbaikan (Lihat Prinsip 5)
Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap TKK dalam system HACCP agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakan-tindakan harus memastikan bahwa CCP telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus mencakup disposisi yang tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.
11.  Penetapan prosedur verifikasi (Lihat Prinsip 6)
Penetapan prosedur verifikasi. Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisa, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar.
Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup :
a.        Peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya.
b.        Peninjauan kembali penyimpangan dan disposisi produk
c.        Mengkonfirmasi apakah TKK dalam kendali.
Apabila memungkinkan, kegiatan validasi harus mencakup tindakan untuk mengkonfirmasi kemanjuran semua elemen-elemen rencana HACCP.
12.  Penetapan dokumentasi dan pencatatan (Lihat Prinsip 7)
Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.

F. Keuntungan dan Kerugian Penerapan HACCP
Setiap hal pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Begitu pula di dalam penerapan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) bagi sebuah industry pangan, tentunya memiliki keuntungan dan kerugian.
Diantaranya :
1.       Keuntungan HACCP
       Penerapan HACCP sebagai alat pengatur keamanan pangan dapat memberikan keuntungan, yaitu mencegah terjadinya bahaya sebelum mencapai konsumen, meminalkan risiko kesehatan yang berkaitan dengan konsumsi makanan, meningkatkan kepercayaan akan keamanan makanan olahan sehingga secara tidak langsung mempromosikan perdagangan dan stabilitas usaha makanan.
2.       Kerugian HACCP
Beberapa kerugian dari HACCP adalah tidak cocok bila diaplikasikan untuk bahaya atau proses yang hanya sedikit diketahui, tidak melakukan kuantifikasi (penghitungan) atau memprioritaskan risiko, dan tidak melakukan kuantifikasi dampak dari tambahan kontrol terhadap penurunan risiko.
Akan tetapi karena pada dasaranya HACCP ini diciptakan untuk tujuan kemaslahatan manusia dalam kaitannya dengan pangan dan pemenuhan kebutuhan akan makanan maka ada baiknya jika setiap perusahaan maupun industri di bidang pangan menerapkan HACCP ini sebagai system kendali mutu pangan dari produk-prosuk yang dihasilkan.Agar tercipta suatu kondisi pangan masyarakat yang kondusif, tanpa terjadi kasus-kasus dalam hal pangan lagi di masa yang akan datang.
             
Sumber:
Fathonah, Siti. 2005. Higiene dan Sanitasi Makanan. Semarang : UNNES Press.
Purnawijayanti, HA. 2001. Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius.
Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung : Alumni.



  







Minggu, 24 Januari 2016

MAKALAH FERMENTASI ‘’FERMENTASI KULIT SINGKONG (Manihot utilissima Pohl) MENGGUNAKAN Aspergillus niger PENGARUHNYA TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING (KBK) DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK (KBO) SECARA IN-VITRO



MAKALAH FERMENTASI
‘’FERMENTASI KULIT SINGKONG (Manihot utilissima Pohl) MENGGUNAKAN Aspergillus niger PENGARUHNYA TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING (KBK) DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK (KBO) SECARA IN-VITRO’


OLEH :
KELOMPOK
PUTRI SULHAM WIJAYA           D1C1 13 071
SARLINA                                         D1C1 13 070
MULIANA                                        D1C1 13 067
VICKY SAFRIANI                          D1C1 13 068
TPG B 2013





JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ‘’FERMENTASI KULIT SINGKONG (Manihot utilissima Pohl) MENGGUNAKAN Aspergillus niger PENGARUHNYA TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING (KBK) DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK (KBO) SECARA IN-VITRO’dengan tepat. Kami haturkan ribuan terima kasih juga atas setiap komponen yang mendukung terselesaikannya makalah ini dan kami juga menghaturkan ribuan maaf atas setiap kesalahan dalam makalah ini, sebagai kontribusi untuk kami, sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun guna pembetulan kesalahan.

Demikian, makalah ini semoga bermanfaat bagi kita semua.


                                                          Kendari, November 2015



                                                            Penulis










Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1.Rumusan Masalah
1.2.Tujuan dan Manfaat
BAB II Pembahasan
2.1. Sejarah dan Manfaat Fermentasi
            2..1.1. Sejarah Fermentasi
            2.2.2. Manfaat Fermentasi
                   2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi
                        2.2.1.Mikroba
                        2.2.2.. Lama Fermentasi
                        2.2.3. pH (keasaman)
                        2.2.4. Suhu
                        2.2.5. Oksigen
            2.3. metode penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk                analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro
            2.4. Hasil penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang          difermentasi Aspergillus niger  yang diukur dengan Kecernaan Bahan      Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis         menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal             polynomial
                        2.4.1.  Kecernaan Bahan Kering (KBK)
                        2.4.2. Kecernaan Bahan Organik (KBO)
BAB III Penutup
            3.1. Kesimpulan
            3.2. Saran
Daftar Pustaka










BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fermentasi dalam pemrosesan bahan pangan adalah pengubahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbon dioksida atau asam amino organik menggunakan ragi, bakteri, fungi atau kombinasi dari ketiganya di bawah kondisi anaerobik. Perilaku mikroorganisme terhadap makanan dapat menghasilkan dampak positif maupun negatif, dan fermentasi makanan biasanya mengacu pada dampak positifnya. Sains yang mempelajari fermentasi disebut dengan zimologi.
Fermentasi sering juga di sebut  proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan respirasi anaerob yang merupakan oksigen sebagai penerima elektron akhir pada saat pembentukan ATP.
            Salah satu contoh fermentasi yaitu singkong atau ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) yang merupakan salah satu sumber karbohidrat lokal Indonesia yang menduduki urutan ketiga terbesar setelah padi dan jagung. Tanaman tersebut merupakan bahan baku yang paling potensial untuk diolah menjadi tepung. Singkong segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri atas kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2,5%, kadar protein 1%, kadar lemak 0,5% dan kadar abu 1%, dan merupakan sumber karbohidrat dan serat pakan, namun sedikit kandungan proteinnya. Singkong segar mengandung senyawa glikosida sianogenik dan bila terjadi proses oksidasi oleh enzim linamarase maka akan dihasilkan glukosa dan asam sianida (HCN) yang ditandai dengan bercak warna biru, akan menjadi toksik (racun) bila dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50 ppm (Prabawati, 2011).
            Produktivitas singkong di Indonesia sebesar 22.677.866 ton. Sedangkan untuk di wilayah Jawa Tengah, produksi singkong sebesar 3.336.490 ton dengan luas panen 162.491 ha (Badan Pusat Statistik, 2012). Setiap bobot singkong akan dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 16% dari bobot tersebut (Hidayat, 2009), hal tersebut menunjukkan bahwa produksi kulit singkong di wilayah Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 533.838,4 ton, sehingga dari hasil tersebut dapat diperoleh pula produksi kulit singkong di Jawa Tengah per hektar sebanyak 128,33 ton/ha. Singkong dipanen pada umur 6–8 bulan untuk varietas Genjah dan 9–12 bulan untuk varietas Dalam (Prihatman, 2000). Kulit singkong merupakan limbah kupasan hasil pengolahan gaplek,tapioka, tape, dan panganan berbahan dasar singkong lainnya. Potensi kulit singkong di Indonesia sangat melimpah, seiring dengan eksistensi negara ini sebagai salah satu penghasil singkong terbesar di dunia dan terus mengalami peningkatan produksi setiap tahunnya. Wikanastri (2012) menyatakan bahwa kandungan energi (TDN) dan nutrien dalam limbah kulit singkong yaitu bahan kering 17,45%, protein 8,11%, TDN 74,73%, serat kasar 15,20%, lemak kasar 1,29%, kalsium 0,63%, dan fosfor 022%. Jumlah limbah kulit singkong yang cukup besar ini berpotensi untuk diolah
menjadi pakan ternak. Hanya saja perlu pengolahan yang tepat agar racun sianida yang terkandung dalam kulit singkong tidak meracuni ternak yang mengkonsumsinya.
            Salah satu proses pengolahan yang dapat menurunkan kandungan sianida dalam kulit singkong adalah proses fermentasi menggunakan enzim dan asam  yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus niger.  Baker (2006) menyatakan bahwa jamur Aspergillus niger dikenal karena perannya sebagai produsen asam sitrat. Asam sitrat yang diproduksi jamur Aspergillus niger berfungsi untuk fermentasi. Organisme ini hidup pada sebuah saprobe tanah dengan beragam enzim hidrolitik dan oksidatif yang terlibat dalam pemecahan lignoselulosa tanaman. Salah satu penelitian menggunakan jamur Aspergillus niger pada fermentasi kulit buah kakao, antara kulit buah kakao yang difermentasi menggunakan jamur Aspergillus niger dengan yang tidak difermentasi berpengaruh sangat nyata terhadap Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) (Fajri, 2008). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka potensi kulit singkong yang difermentasi Aspergillus niger perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitasnya.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat di rumuskan masalah sebagai berikut
  1. Bagaimana Sejarah dan Manfaat Fermentasi?
  2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi ?
  3. Bagaimana metode penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk  analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro ?
  4. Bagaimana hasil penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger  yang diukur dengan Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial ?

1.3. Tujuan dan Manfaat
             Tujuan dan Manfaat dalam makalah ini sebagai berikut:
  1. Menjelaskan Sejarah dan Manfaat Fermentasi
  2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi
  3. Menjelaskan metode penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk  analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro.
  4. Menjelaskan  hasil penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger  yang diukur dengan Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial.











BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah dan Manfaat Fermentasi
2..1.1. Sejarah Fermentasi
  1. 6000 SM, khamir telah digunakan untuk pembuatan minuman beralkohol.
  2. 4000 SM, di Mesir khamir digunakan sebagai pengembang roti.
  3. Abad ke 14 ditemukan metode destilasi alkohol.
  4. Di Timur Tengah dan China bakteri asam laktat telah digunakan untuk pengawetan susu.
  5. Bakteri asam asetat ditemukan sebelum penemuan Anthony Van Leuwenhoek.
  6. Colombus di Amerika mengembangkan fermentasi jagung.
  7. 1800-an, Carlsberg mengembangkan starter untuk inokulum bir.
  8. 1803, Thenard menemukan khamir penghasil alkohol
  9. 1857, Edward Buchner menemukan mikrobia penghasil alkohol.
  10. 1901, Rudolf Emmerich & Oscarlow menemukan antibiotik dihasilkan oleh Pseudomonas geruginosa
  11. 1918, Chaim Wismann menemukan Clostridium penghasil aseton.
  12. 1923, Pfizer menemukan Aspergillus niger penghasil asam sitrat.
  13. 1928, A. Fleming menemukan Penisilin oleh P. notatum untuk mengham bat pertumbuhan Staphylococcus aureus
  14. Selman Waksman menemukan Streptomyces griseus, mikrobia penghasil streptomisin.
  15. 1957, Louis Pasteur menemukan khamir penghasil alkohol, fermentasi vitamin, antibiotik, asam amino dan steroid.
  16. Tahun 1900-1920 merupakan periode penting perkembangan fermentasi gliserol, aseton, butanol dan enzim.
  17. 1960 mulai dikembangkan produksi biomassa oleh mikrobia untuk sumber protein.
  18. Periode selanjutnya penelitian lebih ditujukan pada rekayasa genetik.
                                               
2.2.2. Manfaat Fermentasi
  1. Pengawetan makanan
  2. Penganekaragaman pangan
  3. Menghambatan pertumbuhan mikroorganisme patogen
  4. Meningkatkan nilai gizi makanan
Dalam makanan fermentasi nilai gizi dapat meningkat karena:
  1. Mikroorganisme juga menghasilkan vitamin dan faktor-faktor tumbuh
  2. Daya cerna makanan meningkat
  3. Penguraian selulosa dan hemiselulosa dll yang tidak dapat dicerna oleh manusia menjadi gula-gula sederhana

Bahan Baku Fermentasi
  1. Bahan baku utama (sumber energi/karbon)  fasa gas, cair atau padat mengandung gula dasar, pati atau lignoselulosa terdefinisi, ramuan kompleks atau limbah
  2. Nutrisi sumber nitrogen dan mineral, vitamin faktor pertumbuhan
  3. Air dan udara
  4. Bahan lain inhibitor stabilisator antibusa pengatur pH

Mikroorganisme penyebab fermentasi:
  1. Mikroorganisme proteolitik (pengurai protein) Protein à nitrogen dan senyawa2 berbau busuk
  2. Mikroorganisme lipolitik (pengurai lipid) Lipid à senyawa2 berbau tengik atau bau amis
  3. Fermentasi (pengurai karbohidrat/glukosa) karbohidrat à alkohol, asam organik, dan co

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi
   Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi    pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan (Winarno etal.,1980).
                   Pada umumnya cara-cara pengawetan pangan ditujukan untuk menghambat atau membunuh mikroba. Sebaliknya fermentasi adalah suatu cara pengawetan yang mempergunakan mikroba tertentu untuk menghasilkan asam atau komponen lainnya yang dapat menghambat mikroba perusak lainnya.
            Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi anaerob atau partial anaerobic dari karbohidrat dan menghasilkan alkohol serta beberapa asam. Namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat protein dan lemak (Muchtadi, 1989).
            Hasil dari fermentasi terutama tergantung pada berbagai faktor, yaitu jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Mikroba yang bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunannya terutama menjadi alkohol, asam dan CO2.
            Mikroba proteolitik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginikan sedangkan mikroba lipolitik akan memecah atau menghidrolisa lemak, fosfolipida dan turunannya dengan menghasilkan bau yang tengik (Winarno et al., 1980). Bila alkohol dan asam yang dihasilkan oleh mikroba fermentatif cukup tinggi maka pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dihambat. Prinsip fermentasi sebenarnya adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme dari mikroba pembentuk alkohol dan asam, dan menekan pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik. Faktor- faktor yang mempengaruhi fermentasi yaitu jumlah mikroba, lama fermentasi, pH (keasaman), substrat (medium), suhu, alkohol, oksigen, garam dan air.


2.2.1.Mikroba
            Fermentasi dilakukan dengan menggunakan kultur murni atau starter. Banyaknya mikroba (starter/inokulum) yang ditambahkan berkisar antara 3–10 % dari volume medium fermentasi. Penggunaan inokulum yang bervariasi ini dapat menyebabkan proses fermentasi dan mutu produk selalu berubah-ubah. Inokulum adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial.
Kriteria untuk kultur mikroba agar dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah :

(a) sehat dan berada dalam keadaan aktif sehingga dapat mempersingkat fase adaptasi
(b) tersedia cukup sehingga dapat menghasilkan inokulum dalam takaran yang optimum .
(c) berada dalam bentuk morfologi yang sesuai
(d) bebas kontaminasi
 (e) dapat mempertahankan kemampuannya membentuk produk Rachman,1989).

2.2.2.. Lama Fermentasi
            Menurut Buckle et al., (1985) bila suatu sel mikroorganisme diinokulasikan pada media nutrien agar, pertumbuhan yang terlihat mula mula adalah suatu pembesaran ukuran, volume dan berat sel. Ketika ukurannya telah mencapai kira-kira dua kali dari besar sel normal, sel tersebut membelah dan menghasilkan dua sel. Sel-sel tersebut kemudian tumbuh dan membelah diri menghasilkan empat sel. Selama kondisi memungkinkan, pertumbuhan dan pembelahan sel berlangsung terus sampai sejumlah besar populasi sel terbentuk.
Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies dan kondisi lingkungannya, tetapi untuk kebanyakan bakteri waktu ini berkisar antara 10 – 60 menit. Tipe pertumbuhan yang cepat ini disebut pertumbuhan logaritmis atau eksponensial karena bila log jumlah sel digambarkan terhadap waktu dalam grafik akan menunjukkan garis lurus. Tetapi pada kenyataannya tipe pertumbuhan eksponensial ini tidak langsung terjadi pada saat sel dipindahkan ke medium pertumbuhan dan tidak terjadi secara terus menerus (Rachman, 1989).


2.2.3. pH (keasaman)
            Makanan yang mengandung asam biasanya tahan lama, tetapi jika oksigen cukup jumlahnya dan kapang dapat tumbuh serta fermentasi berlangsung terus, maka daya awet dari asam tersebut akan hilang. Pada keadaan ini mikroba proteolitik dan lipolitik dapat berkembang biak.
Sebagai contoh misalnya susu segar pada umumnya akan ditumbuhi dengan beberapa macam mikroba, mula-mula adalah Streptococcus lactis akan menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri.
Selanjutnya bakteri menjadi inaktif sehingga akan tumbuh bakteri jenis Lactobacillus yang Iebih toleran terhadap asam. Lactobacillus juga akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk "curd" susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis,sehingga keduanya akan menurunkan asam sampai titik di mana bakteri pembusuk proteolitik dan lipolitik akan mencerna "curd" dan menghasilkan gas serta bau busuk.

.2.2.4. Suhu
            Tiap-tiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimal, minimal dan optimal yaitu suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri tercepat. Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan suhu pertumbuhan yang diperlukannya yaitu golongan psikrofil, tumbuh pada suhu dingin dengan suhu optimal 10 – 20°C, golongan mesofil tumbuh pada suhu sedang dengan suhu optimal 20 – 45°C dan golongan termofil tumbuh pada suhu tinggi dengan suhu optimal 50 – 60°C (Gaman and Sherrington, 1992). Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama fermentasi. Bakteri bervariasi dalam hal suhu optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan asam. Kebanyakan bakteri dalam kultur laktat mempunyai suhu optimum 30°C, tetapi beberapa kultur dapat membentuk asam dengan kecepatan yang sama pada suhu 37°C maupun 30°C. Suhu yang lebih tinggi dari 40°C pada umumnya menurunkan kecepatan pertumbuhan dan pembentukan asam oleh bakteri asam laktat, kecuali kultur yang digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu L.bulgaricus dan S.thermophilus memiliki suhu optimum 40 - 45°C (Rahman et al., 1992).
Inkubasi dengan suhu 43°C selama 4 jam terjadi peningkatan produksi berbagai enzim dari L.bulgaricus dan S.thermophilus antara lain enzim laktase dan 8 orthonitrophenol ß-d-galaktopyranosid.

2.2.5. Oksigen
            Tersedianya oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Jamur bersifat aerobik (memerlukan oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat aerobik atau anaerobik tergantung pada kondisinya.
Bakteri diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu aerob obligat (tumbuh jika persediaan oksigen banyak), aerob fakultatif (tumbuh jika oksigen cukup, juga dapat tumbuh secara anaerob), anaerob obligat (tumbuh jika tidak ada oksigen) dan anaerob fakultatif (tumbuh jika tidak ada oksigen juga dapat tumbuh secara aerob) (Gaman and Sherrington, 1992).

2.3. metode penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) untuk  analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro
            Materi yang akan digunakan dalam penelitian adalah kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang diambil dari sentra pengolahan gethuk goreng di wilayah Sokaraja, Jawa Tengah, kultur jamur Aspergillus niger yang diperoleh dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, cairan rumen sapi yang diambil dari Rumah Potong Hewan Mersi Purwokerto segera setelah sapi dipotong, seperangkat alat dan bahan yang digunakan untuk  analisis Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik secara in vitro.
             Metode penelitian dilakukan menggunakan metode experimental in vitro berdasarkan metode Tilley and Terry (1963). Perlakuan yang diteliti yaitu S  : Kulit Singkong tanpa fermentasi, S10 : Kulit Singkong difermentasi dengan jamur Aspergillus niger 1 %, S   : Kulit Singkong difermentasi dengan jamur Aspergillus niger 2 %, S32  : Kulit Singkong difermentasi dengan jamur Aspergillus niger 3 %.  Peubah yang diukur dalam penelitian ini yaitu Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial.

2.4. Hasil penelitian kulit singkong (Manihot utilissima Pohl) yang difermentasi Aspergillus niger  yang diukur dengan Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) yang dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji orthogonal polynomial

2.4.1.  Kecernaan Bahan Kering (KBK)
            Kecernaan bahan kering kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus nigermempunyai kisaran nilai antara 23,72% sampai 50,74%, dengan rataan tertera pada Tabel 1.
            Hasil dari tabel 1 memperlihatkan bahwa kulit singkong yang difermentasi menggunakan
Aspergillus niger memiliki rataan kecernaan bahan kering yang tergolong rendah karena kurangdari 50%, namun hasilnya tetap meningkat bila dibandingkan dengan yang tidak mendapat perlakuan fermentasi, yaitu peningkatan sebesar 12,43% untuk bahan kering dari S . Hal ini dapat diperoleh mengingat kulit singkong mengandung asam sianida. Sifat racun pada biomass ketela pohon (termasuk kulitnya umbinya) terjadi akibat terbebasnya HCN darglukosida sianogenik yang dikandungnya (Rustandi, 2012). HCN adalah larutan tidak berwarna bersifat racun dan mudah menguap (Sandi, 2012). Diperkirakan asam sianida yang terkandung dalam kulit singkong belum sepenuhnya hilang meskipun sudah mendapat perlakuan fermentasi oleh Aspergillus niger sebesar 1%, 2% dan 3%.


Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa fermentasi kulit singkong menggunakan
Aspergillus niger berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kecernaan bahan kering. Kemudian
hasil uji lanjut orthogonal polynomial menunjukkan bahwa perlakuan memberikan respon
kuadrater terhadap kecernaan bahan kering dengan persamaan Y = 28.299 + 20.155x - 5.155x

dengan koefisien determinasi (r2) 0.834 (gambar 1) yang berarti bahwa perlakuan memiliki pengaruh sebesar 83,4% terhadap kecernaan bahan kering. Supriyati et al. (1998) menyatakan bahwa fermentasi dengan menggunakan kapang memungkinkan terjadinya perombakan komponen bahan yang sulit dicerna menjadi lebih tersedia. Aspergillus niger dapat menghasilkan enzim selulase yang berperan mendegradasi selulosa yang membungkus pati pada kulit singkong, dimana kadar selulosa pada kulit singkong cukup tinggi sekitar 5%. Kadar HCN menurun seiring dengan bertambahnya lama fermentasi karena semakin bertambahnya waktu fermentasi maka semakin meningkat pula kemampuan enzim dalam mendegradasi linamarin menjadi senyawa yang tidak membahayakan.
Gambar 1 menunjukkan bahwa hasil penggunaan Aspergillus niger pada kulit singkong di level 2% lebih optimal meningkatkan kecernaan bahan kering dibandingkan dengan level 0% (S),1% (S1), dan 3% (S) dengan titik belok berada di ordinat (1.955 ; 47.999). Ini berarti titik optimal fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus niger berada pada hasil yang optimal di level 2% (S23) dengan nilai kecernaan bahan keringnya sebesar 47,99%. Kecernaan bahan kering paling rendah berada di level 0% yang memiliki kecernaan bahan kering sebesar 28,94%. Dalam aktivitasnya kapang menggunakan karbohidrat sebagai sumber karbon. Pemecahan karbohidrat akan diikuti pembebasan energi, karbondioksida dan air. Panas yang dibebaskan menyebabkan suhu substrat meningkat. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa untuk hidup semua organisme membutuhkan sumber energi yang diperoleh dari metabolisme bahan pangan tempat organisme
berada di dalamnya. Dalam hal ini, yang berperan sebagai sumber energi adalah karbohidrat yang terkandung dalam kulit singkong dan sebagai sumber nitrogen berasal dari urea yang ditambahkan. Andayani (2010) menambahkan bahwa urea yang ditambahkan pada proses fermentasi akan diurai oleh enzim urease menjadi amonia dan karbon dioksida yang selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino. Amoniasi dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk memperbaiki kandungan nitrogen, meningkatkan kecernaan serat kasar sekaligus dapat meningkatkan konsumsi. Amoniasi dengan menggunakan urea sebagai
sumber amonia merupakansalah satu cara yang memberikan harapan baik untuk meningkatkan nutrien pakan, dimana dapatmeningkatkan kandungan bahan kering dan nitrogen akibat naiknya kecernaan dan konsumsibahan kering. 
            Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan kering adalah aktivitasmikroba dalam rumen, kualitas cairan rumen yang digunakan, persentase lignin dalam bahanpakan, pengontrolan pH rumen, kondisi temperatur dalam shaker waterbatch, kondisi fisik bahanpakan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam pakan.
            Gambar 1 menunjukkan bahwa penggunaan  2% Aspergillus niger pada kulit singkong (S) menghasilkan kecernaan bahan kering yang lebih tinggi daripada penggunaan Aspergillus niger pada S0, S1 dan S yaitu 49,92±0,76%. Peningkatan kecernaan bahan kering dari level 0% dan level 1% adalah sebesar 12,43%. Sedangkan dari level  1% dan level 2% adalah sebesar 8,55%. Level  2% dan level 3% mengalami penurunan sebesar 8,19%.

            Kemampuan bahan pakan dalam menyediakan nutrien bagi mikroflora rumen dan hewan  inang dapat dilihat dari hasil kecernaan bahan kering bahan pakan tersebut. Semakin tinggi tingkat kecernaan bahan kering maka dapat disimpulkan bahwa bahan pakan tersebut cukup berkualitas untuk diberikan kepada ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan  2% Aspergillus niger pada kulit singkong (S) menghasilkan kecernaan bahan kering yang lebih tinggi daripada penggunaan Aspergillus niger pada S20, S1  dan S yaitu 49,92± 1,76%.

2.4.2. Kecernaan Bahan Organik (KBO)
Kecernaan Bahan Organik
Kecernaan bahan organik kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger mempunyai kisaran nilai antara 33,16% sampai 49,16%, dengan rataan tertera pada Tabel 2.  Hasil dari tabel 2 memperlihatkan bahwa kulit singkong yang difermentasi menggunakan Aspergillus niger memiliki rataan kecernaan bahan organik yang tergolong rendah karena kurang dari 50%, namun hasilnya tetap meningkat bila dibandingkan dengan yang tidak mendapat perlakuan fermentasi, yaitu peningkatan sebesar 6% untuk bahan organik dari S. Sama halnya dengan kecernaan bahan kering, diperkirakan asam sianida yang terkandung dalam kulit singkong belum sepenuhnya hilang meskipun sudah mendapat perlakuan fermentasi oleh Aspergillus niger sebesar 1%, 2% dan 3%. Perbedaan nilai kecernaan bahan organik tersebut disebabkan oleh karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering suatu bahan pakan.


Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus niger berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kecernaan bahan organik. Hasil uji lanjut orthogonal polynomial menunjukkan bahwa perlakuan memberikan respon kuadrater
terhadap kecernaan bahan organik dengan persamaan Y = 31.967 + 14.926x - 4.057x dengan koefisien determinasi (r2) 0.613 (gambar 2) yang berarti bahwa perlakuan memiliki pengaruh sebesar 61,3 % terhadap kecernaan bahan organik dengan titik belok berada di ordinat (1.839 ; 45.695). Ini berarti titik optimal fermentasi kulit singkong menggunakan Aspergillus niger berada pada hasil yang optimal di level 2% (S) dengan nilai kecernaan bahan organiknya sebesar 45,69%.
Faktor utama yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kecernaan bahan kering.
            Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil penggunaan Aspergillus niger pada kulit singkong dilevel 2% lebih optimal meningkatkan kecernaan bahan organik dibandingkan dengan level 0% (S),1% (S1), dan 3% (S). Kecernaan bahan organik paling rendah berada di level 0% yang memiliki kecernaan bahan organik sebesar 33,16%. Bahan organik merupakan bagian dari bahan keringsuatu bahan pakan. Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya bahwa dengan semakin tingginya Aspergillus niger maka akan semakin besar pula kandungan bahan kering yang didegradasi sebagai sumber energi untuk Aspergillus niger dan menyebabkan kandungan bahankering maupun organik mengalami penurunan. Turunnya kandungan bahan organik kulit singkong yang difermentasi inilah yang mungkin dapat menyebabkan turunnya kecernaan bahan organik. Ditambahkan pula oleh Suwandyastuti (1991), bahan pakan yang mempunyai kandungan nutrienyang sama memungkinkan kecernaan bahan organiknya mengikuti kecernaan bahan keringnya, tetapi sering terjadi perbedaan.
            Menurut Ginting (2005), proses degradasi substrat penghasil energi dan proses sintesis protein oleh mikroba sulit dipisahkan. Pertumbuhan mikroba didukung oleh fermentasi substrat, sedangkan fermentasi substrat dilakukan oleh perkembangan mikroba. Penurunan dan perubahan bahan organik selama fermentasi dipengaruhi oleh respirasi dan kerusakan oleh mikroorganisme, karena bahan organik seperti protein, karbohidrat,lemak maupun vitamin merupakan komponen utama sel (Buckle, 1987). Selanjutnya (Francis 1982),  mengemukakan bahwa untuk pertumbuhan Selnya, mikroorganisme membutuhkan karbon, terutama yang berasal dari bahan organik. Zain (1999), menjelaskan bahwa kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba rumen. Menurut Aryo (2010) dengan meningkatnya jumlah mikrobia rumen, maka dapat meningkatkan aktifitas degradasi bahan organik pakan secara fermentatif menjadi senyawa sederhana yang mudah larut, akibatnya dapat meningkatkan penyerapan zat-zat organik. Peningkatan kecernaan bahan organik substrat akan mengikuti peningkatan kecernaan bahan kering substrat (Mutahadin dan Liman, 2006). Hal ini karena bahan organik merupakan komponen terbesar dari bahan kering substrat (Munasik, 2007). 

           
            (S2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan  2% Aspergillus niger pada kulit singkong ) menghasilkan kecernaan bahan organik yang lebih tinggi daripada penggunaan Aspergillus niger pada S0, S1 dan S yaitu 49,16±0,75%. Peningkatan kecernaan bahan organik dari level 0%(S0) dan level 1% (S13) adalah sebesar 6,1%. Sedangkan dari level  1% dan level 2% (S) adalah sebesar 9,9%. Level  2% dan level 3% (S) mengalami penurunan sebesar 10,12%.


























BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan optimal Aspergillus niger terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik berada pada level 2% yaitu sebesar 47,99% untuk kecernaan bahan kering dan 49,16% untuk kecernaan bahan organik.


























               






















 DAFTAR PUSTAKA

Aryo, Galih Putro. 2010. Pengaruh Suplementasi Probiotik Cair EM4 Terhadap    Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Domba Lokal          Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Badan Pusat Statistik. 2012.  Luas Produktivitas Tananaman Ubi Kayu di Seluruh             Provinsi Tahun2012. Badan Pusat Statistik.

Baker, S. E. 2006. Aspergillus niger genomics: Past, present and into the future.     Medical Mycology. 44: S17-S21.

Buckle, K.A., G.H. Edward, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas       Indonesia Press.Jakarta.

Ginting, Simon Petrus. 2005. Sinkronisasi Degradasi Protein dan Energi dalam     Rumen untukMemaksimalkan Produksi Protein Mikroba. WARTAZOA. 15 (1).